Oleh Syahruddin El Fikri
Bani Israil adalah umat Nabi Musa Alaihissalam (AS). Mereka berasal dari keturunan Ya’kub AS. Nenek moyang mereka adalah Ishak bin Ibrahim AS. Sepeninggal Musa, Bani Israil dipimpin oleh Nabi Harun AS (saudara Nabi Musa). Kemudian dilanjutkan oleh Yusya bin Nun.
Setelah Nabi Musa AS bersama kaumnya berhasil keluar dari Mesir saat menyeberangi Laut Merah, tujuannya adalah Palestina, tanah yang diberkahi. “Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.” (QS Al-Maidah [5]: 21).
Bagi kaum Yahudi, tanah yang dijanjikan itu (the Promised Land) itu yakni Palestina adalah untuk mereka. Padahal sesungguhnya, tanah itu akan diberikan kepada mereka, selama mereka taat dan beriman kepada Allah SWT.
Menurut beberapa riwayat, di tengah perjalanan sebelum memasuki Palestina, Musa dan kaumnya sempat tinggal sebentar di bukit Sinai. Ketika itu, Nabi Musa sedang bermunajat kepada Allah dan menerima kitab Taurat. Di antara misi yang diterima Musa saat itu adalah 10 perintah Tuhan (Ten Commandment). Ke-10 perintah itu dalam Al-Quran disebutkan antara lain, larangan membunuh, tidak boleh berbohong, mencuri, berzina, perintah untuk mendirikan shalat, dan menjauhi perbuatan maksiat.
Selanjutnya, ketika Musa turun dari bukit Sinai menuju kaumnya, dia mendapati umatnya telah ingkar dan menyembah berhala anak lembu yang dibuat oleh Samiri. Harun yang diperintahkan untuk mendampingi kaumnya, tak bisa berbuat apa-apa. Maka, setelah hal ini berlalu dan Musa berhasil mengembalikan kepercayaan dengan mengusir Samiri, dia lalu mengajak kaumnya menuju Palestina. Namun, sebelum sampai ke Palestina, Musa berhenti lagi di Padang Tih. Di lokasi ini, awalnya Nabi Musa mengatur strategi untuk memasuki Palestina. Namun, kaumnya ketakutan, dan meminta Musa untuk berperang sendiri. Inilah kemunafikan dari kaum Yahudi itu.
“Mereka berkata: "Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. Jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya." Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." Mereka berkata: "Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja." Berkata Musa: "Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu." (QS Al-Maidah [5]: 22-25).
Artikel Terkait:
Malaikat Berlomba Mencatat Amal Orang Ini
Jangan Asal Berhenti Saat Membaca Al-Quran, Perhatikan Tandanya
Karena membangkang atas perintah Musa, maka Allah kemudian mengharamkan tanah Palestina itu bagi kaum Yahudi selama 40 tahun. Dan selama 40 tahun tersebut, Bani Israil tak mampu memasuki Tanah Palestina dan hanya berputar-putar saja di lokasi tersebut, di Padang Tih.
“(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama 40 tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu." (QS Al-Maidah [5]: 26).
Ibnu Mandhur menjelaskan dalam kamus Lisan Al-Arab akar kata Tih yang berasal dari kata taha-yatihu-tihan, yang berarti bingung dan tersesat. Biasanya kata tersebut digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tersesat. Padahal sebetulnya, dia mengetahui tujuan dan arahnya. Tetapi entah kenapa rasa lantaran suatu hal perasaan bingung mendominasi pikiran mereka.
Barangkali inilah yang dijadikan dasar penamaan sebuah padang tandus di kawasan bukit Sinai, Mesir dengan sebutan padang Tih. Daerah ini merupakan dataran yang memanjang terletak di tinggi persegi membentang antara pantai barat Teluk Aqabah di timur sampai ke pantai timur Teluk Suez di Barat. Luasnya menempati dua pertiga wilayah Alhilli di lintang menengah antara 2930 di utara, dan kontur linier 500-1000 meter. Dan memiliki luas sekitar 21 ribu kilometer persegi, setara dengan sekitar sepertiga dari Bukit Sinai.
Dalam kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim Ibnu Katsir menjelaskan hukuman yang diberikan Allah kepada Bani Israil merupakan ganjaran yang setimpal akibat penolakan mereka atas seruan berjihad Allah (QS Al-Maidah [5]: 21-25). Akibatnya, Allah mengharamkan tanah Palestina atas mereka selama empat puluh tahun.
Menukil riwayat dari Ibnu Abbas, Ibnu Katsir menyebutkan, selama 40 tahun itu, Bani Israil kebingungan di Padang Tih, tanpa ada keputusan apapun dari mereka. Namun, Allah SWT tetap melimpahkan nikmat berupa perlindungan seperti awan mendung. Ibnu Abbas menyatakan, saat tragedi Padang Tih, Nabi Harun meninggal dunia dan kemudian tiga tahun setelah itu disusul wafatnya Nabi Musa. Atas izin Allah Yusya’ bin Nun menggantikan Nabi Musa sebagai Nabi dan khalifah.
.Lanjut ..
Ketika di Padang Tih, populasi Bani Israil banyak berkurang lantaran sebagian besar mereka meninggal dunia, bahkan dikatakan dalam pendapat yang lemah, tidak tersisa satupun kecuali dua orang yaitu Yusya’ bin Nun dan Kalib.
Padang Tih adalah gurun yang tandus, kering, tidak terdapat sumber air atau makanan dan suhu terik matahari begitu panas dan menyengat. Bagaimanakah Bani Israil mampu bertahan hidup? Bagaimana mereka mendapatkan kebutuhan sandang dan pangan, sementara Padang Tih jauh dari pusat peradaban di Mesir?
Menukil riwayat dari Wahab bin Munabbih, Ibnu Jarir At-Thabari mengemukakan, saat mereka dilanda kerisauan dan rasa bingung telah memuncak, Bani Israil menghadap kepada Nabi Musa dan menanyakan bebarapa hal, antara lain makanan, lauk pauk, pakaian dan tempat berlindung dari terik matahari yang menyengat.
Sebagai jawaban atas pengaduan mereka, Nabi Musa berdoa kepada Allah SWT yang lantas dikabulkan. Terkait makanan Allah SWT memberikan makanan berupa roti (al-manna) yang diturunkan setiap waktu pagi datang. Selain itu, Allah SWT juga menyediakan lauk pauk yaitu daging burung salwa, sejenis burung dara yang datang bersamaan dengan tiupan angin ke arah Padang Tih.
Persoalan krisis air minum, Allah SWT memerintahkan Nabi Musa agar memukulkan tongkatnya. Maka seketika itu muncullah 12 sumber mata air yang digunakan sebagai penopang hidup mereka. Ada pula yang menyatakan, mata air Musa (‘Uyun Musa) ini terdapat di Syam. Namun, sejumlah pendapat mengatakan, mata air Musa ini terdapat di perbatasan di dekat Laut Merah. Lihat pembahasannya dalam bagian lain dai buku ini.
Melanjutkan kisah tersebut, berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas, Ibnu Jarir At-Thabari menjelaskan, Allah juga memberikan jenis pakaian untuk mereka yang belum pernah ada sebelumnya. Pakaian tersebut digunakan pula melindungi keturunan mereka dari panas mentari. Terkait dengan panas matahari, menurut riwayat Rabi’ bin Anas, seperti yang dinukil At-Thabari, awan mendung senantiasa menutupi sengatan matahari dari saat terbit hingga menjelang terbenam.
Kisah pengaduan Bani Israil tentang kondisi di Padang Tih tersebut menurut Ibn Ishaq merupakan penjabaran dari ayat ini termaktub dalam ayat 57 dan 60 Surah Al-Baqarah.