REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eks Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengungkapkan, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan supaya slot orbit 123 Bujur Timur (BT) segera diselamatkan. Hal ini menyusul kekosongan slot karena satelit Garuda-1 keluar dari orbit tersebut.
Hal itu dikatakan Rudiantara setelah bersaksi dalam sidang kasus dugaan korupsi satelit di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dengan terdakwa eks Dirjen Kekuatan Pertahanan Kemenhan Laksamanan Muda (Purn) Agus Purwoto; Komisaris Utama PT DNK, Arifin Wiguna; Direktur Utama PT DKN, Surya Cipta Witoelar; dan Senior Advisor PT DNK, Thomas Anthony Van Der Heyden.
Pernyataan Presiden Jokowi guna menyelamatkan slot orbit 124 tersebut diutarakan dalam ratas (rapat terbatas) di Istana Negara pada 2015.
"Perintah Presiden bahwa slot 123 agar diambil dan dikelola oleh Indonesia," kata Rudiantara ketika ditemui wartawan setelah persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis (6/4/2023).
Rudiantara menyampaikan pengelolaan satelit di slot orbit 123 derajat BT mulanya dilaksanakan oleh PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN). Namun, ada persoalan teknis yang menyebabkan satelit keluar dari slot orbit 123.
Kemudian Pemerintah melakukan evaluasi agar bisa menuntaskan persoalan pengisian satelit di slot orbit 123 BT. Kemenkominfo lalu membuka peluang ke sejumlah pihak yang ingin mengelola satelit di slot orbit itu.
Dari beberapa pihak swasta yang mengajukan diri, Kemenhan disebut sejak lama menyatakan keinginannya mengelola satelit di orbit 123. Meskipun diberikan ke Kemenhan pada 2016, Kementerian yang dipimpinan Ryamizard Ryacudu saat itu mengembalikan pengelolaan kepada Kemenkominfo pada tahun 2018 lantaran masalah dana.
Atas pengembalian itu, pemerintah kemudian melakukan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Kemanan (Menko Polhukam) Wiranto. Rapat evaluasi perihal persoalan satelit yang diikuti oleh Kementerian dan lembaga terkait ini kemudian menunjuk PT DNK sebagai operator pengelolaan satelit tersebut.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa Agus Purwoto, Tito Hananta menyebut tidak ada persoalan dalam pengelolaan orbit 123 BT. Terlebih, pengelolaan satelit yang dilakukan PT DNK termasuk pertimbangan dari rapat yang dipimpin oleh Menkopolhukam.
"PT DNK ini mendapatkan penunjukan atas pemilihan dari tim Menko Polhukam. Ini artinya PT DNK bukan PT yang liar. Ada dasar hukum yang ditunjuk saat itu," ujar Tito.
"Yang jelas, di dalam rapat kabinet tanggal 4 Desember 2015, terdapat perintah Presiden, arahan Presiden, selamatkan slot orbit 123 BT. Artinya, ada perintah Presiden," ucap Tito, menambahkan.
Tito juga mengatakan keterlibatan kliennya dalam pengelolaan satelit itu dilakukan berdasarkan rapat kabinet 4 Desember 2015. Dalam rapat di Istana Negara, Agus Purwoto ditugaskan memimpin delegasi Indonesia untuk datang ke rapat di Inggris demi menindaklanjuti penyelamatan slot orbit 123 tersebut.
"Kedatangan Bapak Agus ini adalah melaksanakan perintah atasan, melaksanakan perintah presiden, melaksanakan Menteri Pertahanan yang memberikan perintah pada saat itu," ujar Tito.
Diketahui, kasus ini menjerat Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto, Arifin Wiguna, Surya Cipta Witoelar, dan terdakwa berkewarganegaraan Amerika Serikat (AS) Thomas Anthony Van Der Heyden. Perkara ini didakwa kerugian keuangan negara sebesar Rp 453 miliar.
Agus Purwoto disebut Jaksa Penuntut Umum diminta oleh Thomas Anthony, Arifin Wiguna dan Surya Cipta Witoelar supaya menandatangani kontrak sewa satelit Floater yaitu Satelit Artemis antara Kemenhan dengan Avanti Communication Limited walau sewa satelit Artemis tidak dibutuhkan.
Dalam perkara ini, Agus, Arifin, Surya, dan Anthony didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.