Memasuki bulan puasa lazimnya pasar dan pusat perbelanjaan ramai-ramai obral besar dengan memberi potongan harga atau disount gila-gilaan. Bahkan ada yang mencapaii 60 persen hingga memberi menawarkan obral beli satu dapat tiga. Tak hanya baju, makanan takjil puasa pun diberi iming-iming potongan harga.
Situasi perang harga atau dikson ini menjadi bahan lucuan Gus Dur ketika bersama seorang kiai menyambangi kediaman Presiden Soeharto untuk berbuka bersama di jalan Cendana. Beruntung kala itu berlum pernah ada larangan berbuka pusa bersama pejabat selama rezim Orde Baru.
Apalagi menu hidangan buka puasa di rumah Pak Harto sederhana saja sesuai anjuran hidup sederhana yang sering dikatakan dengan jargon 'mengencangkan ikat pinggang.' misalnya hanya minum cendol dan makan tempe dan sayur asem sesuai dengan selera makan Soeharo yang sangat 'Njawani'. Gus Dur pun lidahnya satu selera hingga keduanya pun dapat berbuka bersama dengan guyup dan akrab.
Selesai acara buka puasa dan shalat Maghrib Gus Dur minta diri pulang. Alasannya dia harus memberi ceramah tarawih. Dia mengatakan jadwal ceramahnya selama Ramadhan memang padat.
Gus Dur: Pak Harto saya monon izin pamit dahulu?
Soeharto: Kok terburu Gus?
Gus Dur: Iya pak, harus ceramah tarawih Pak. Sudah ditunggu.
Soeharto: Oh begitu. Baiklah. Tapi status kiainya tinggal ya sebagai oleh-oleh?
Gus Dur agak kaget karena tiba-tiba Pak Harto mengajaknya bercanda. Maka kalah tak cerdik, dia pun mengeluarkan lucuan juga.
Gus Dur: Iya Pak. Meski jadwal ceramah padat, tapi tarawih di NU hari ini lebih terasa ringan. Lebih cepat dan ringkas.
Soeharto: Lho kak begitu. Ada juga shalat tarawih cara NU lama dan NU baru?
Gus Dur: Itu pak. Kalau NU lama itu tarawihnya tanpa ceramah dan rekaatnya sampai 23 rekaat.
Soeharto: Lha kalau NU baru?
Gus Dur: iya itu. Kalau NU baru pakai ceramah dan rekaatnya didiskon 60 persen. Persis dengan harga-harga jelang lebaran.
Mendengar celetukan itu Pak Harto pun tersenyum serya menjabat tangan Gus Dur yang akan segera beranjak pulang.