Selasa 11 Apr 2023 20:12 WIB

Anggota Perlawanan Myanmar yang Menyusup ke Thailand Dipulangkan

Orang-orang itu kemungkinan berada dalam bahaya karena melawan pemerintah Myanmar

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
 Pengunjuk rasa pro demokrasi Myanmar menandai peringatan satu tahun perebutan kekuasaan oleh tentara, dengan topeng bendera dan plakat di Parliament Square, London, Selasa, 1 Februari 2022. Penentang kekuasaan militer di Myanmar pada Selasa menandai peringatan satu tahun dari perebutan kekuasaan oleh tentara dengan pemogokan nasional untuk menunjukkan kekuatan dan solidaritas mereka di tengah kekhawatiran tentang apa yang telah menjadi perebutan kekuasaan yang semakin keras, demonstrasi juga terjadi di ibu kota dunia lainnya.
Foto: AP/Alastair Grant
Pengunjuk rasa pro demokrasi Myanmar menandai peringatan satu tahun perebutan kekuasaan oleh tentara, dengan topeng bendera dan plakat di Parliament Square, London, Selasa, 1 Februari 2022. Penentang kekuasaan militer di Myanmar pada Selasa menandai peringatan satu tahun dari perebutan kekuasaan oleh tentara dengan pemogokan nasional untuk menunjukkan kekuatan dan solidaritas mereka di tengah kekhawatiran tentang apa yang telah menjadi perebutan kekuasaan yang semakin keras, demonstrasi juga terjadi di ibu kota dunia lainnya.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Kelompok hak asasi manusia dan politisi oposisi di Thailand mengkritik pemerintah karena memulangkan paksa tiga pria yang dilaporkan menjadi anggota gerakan perlawanan anti-pemerintah di Myanmar yang dikuasai militer. Yayasan Pemberdayaan Rakyat yang berbasis di Bangkok mengatakan, tindakan itu melanggar prinsip hak asasi manusia universal dan kebijakan Thailand.

“Mengingat situasi kekerasan umum di Myanmar, semua warga negara Myanmar di Thailand harus diberi status perlindungan sementara dan, sesuai hukum Thailand, tidak seorang pun boleh dipaksa untuk kembali ke situasi di mana mereka mungkin menghadapi pelanggaran hak asasi manusia yang berat,” Patrick Phongsathorn dari organisasi hak asasi manusia Fortify Rights, Selasa (11/4/2023).

Kelompok hak asasi manusia itu menilai, orang-orang tersebut kemungkinan berada dalam bahaya akibat aktivitas mereka melawan pemerintah Myanmar.

Sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan Nasional Thailand yang dibocorkan ke media lokal mengatakan, pemulangan itu mengikuti kebijakan resmi. Ketiga pria itu tidak menampilkan diri mereka sebagai pejuang dalam konflik sipil yang brutal di Myanmar.

Media independen Myanmar, yang beroperasi di bawah tanah dan di pengasingan, melaporkan, ketiga pria itu adalah anggota kelompok perlawanan yang disebut Komando Batalyon Singa. Mereka menyeberang ke Thailand bulan lalu.

Laporan media Myanmar mengatakan, tiga pria yang diidentifikasi sebagai Thiha (38 tahun), Saw Phyo Lay (26 tahun), dan Htet Naing Win (31 tahun) ditangkap pada 31 Maret di pos pemeriksaan jalan Thailand. Mereka dikirim kembali ke Myanmar pada 4 April.

Laporan itu mengatakan, ketiga orang tersebut dipulangkan dengan menggunakan perahu melintasi Sungai Moei di perbatasan Thailand.  Mereka melompat keluar dari perahu untuk mencoba melarikan diri tetapi ditembak dan terluka. Mereka kemudian ditangkap oleh Pasukan Penjaga Perbatasan Myanmar, yang terdiri dari milisi etnis minoritas yang bersekutu dengan pemerintah militer.

Pasukan Penjaga Perbatasan kemudian menyerahkan mereka ke militer Myanmar.  Satu orang dilaporkan meninggal karena luka tembak. Pemerintah Thailand belum memberikan laporan publik lengkap tentang peristiwa tersebut. Tetapi dokumen Dewan Keamanan Nasional yang bocor mengatakan, ketiga pria itu termasuk di antara kelompok besar warga negara Myanmar yang ditangkap setelah menyeberang secara ilegal ke Thailand dan tidak dipilih untuk dipulangkan kembali. Ribuan penduduk desa melarikan diri dari pertempuran di Myanmar minggu lalu dan mendapatkan tempat tinggal sementara di Provinsi Tak, Thailand.

Menurut dokumen itu, ketiga pria tersebut ditangkap di sebuah pos pemeriksaan. Mereka tidak memiliki paspor atau dokumen identitas apa pun dan didakwa masuk secara ilegal.  Ketiganya mengatakan kepada pihak berwenang bahwa mereka telah memasuki Thailand untuk menghadiri pemakaman ibu dari seorang teman.

Dokumen itu juga mengatakan, para pejabat Thailand belum menerima pemberitahuan bahwa ketiga pria itu adalah pejuang anti-pemerintah di Myanmar. Sejauh ini tidak ada kelompok yang menghubungi mereka untuk meminta agar mereka tidak dipulangkan.

Yayasan Pemberdayaan Rakyat menyatakan, ketiga orang itu bukan bagian dari kelompok tahanan yang lebih besar.  Kelompok hak asasi manusia setempat telah mendekati pejabat untuk membahas situasi ketiga pria tersebut tetapi disuruh kembali keesokan harinya. Namun ketika kelompok tersebut kembali menemui pejabat setempat, ketiga orang itu telah dipulangkan ke Myanmar.

“Petugas keamanan perbatasan Thailand menyadari sepenuhnya bahwa BGF (Pasukan Penjaga Perbatasan) bukanlah zona aman bagi warga negara Myanmar yang melarikan diri dari pertempuran.  Mengirim ketiga pria itu ke wilayah BGF karena itu mau tidak mau mengirim mereka ke kematian mereka dengan siksaan.  Mengapa petugas keamanan Thailand melakukan itu?”  kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan pada Senin (10/4/2023).

Dua partai politik Thailand juga melontarkan kritik serupa. Pada Sabtu (8/4/2023) Rangsiman Roma, juru bicara oposisi Forward Party mengatakan pemulangan itu mencerminkan hubungan dekat antara Thailand dan pemerintah militer Myanmar. Sementara partai oposisi lainnya, The Commoners Party mengatakan, pihak berwenang Thailand mungkin telah melanggar hukum internasional.

Selama dua minggu terakhir telah terjadi pertempuran serius di kotapraja Myawaddy di Myanmar timur. Ini adalah bagian dari perjuangan berkelanjutan yang dimulai pada Februari 2021 ketika tentara merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi.  

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement