REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadali menilai, skema pengajuan sertifikasi halal bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) perlu dievalusi. Itu karena pengajuan tersebut masih dipungut biaya, padahal seharusnya UMKM bisa mengajukan secara gratis.
"Di sisi lain, kita (pemerintah) kampanyekan sertifikasi halal gratis. Hanya saja teman-teman Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) bilang ke saya bayar sampai Rp 6 juta, pucat juga muka saya," ujar Bahlil dalam Rapat Koordinasi Percepatan Penerbitan NIB, Sertifikat Halal, dan SNI Bina UMK, di Gedung Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop), Jakarta, Selasa (11/4/2023).
Pemerintah menargetkan, 10 juta UMKM bisa mendapat sertifikat halal tahun ini. Angka itu sejalan dengan target penerima Nomor Induk Berusaha (NIB) yang sebanyak 10 juta UMKM pada 2023.
Bahlil menjelaskan, idealnya memang target penerbitan NIB sama dengan target penerima sertifikat halal. "Contoh target NIB lima juta, sama sertifikat halal juga," kata dia.
Bahlil menuturkan, target keduanya harus sama karena jika suatu UMKM sudah memiliki NIB tapi sertifikat halalnya belum ada, maka usaha mereka belum berjalan maksimal. Jadi, lanjutnya, pemerintah sedang mencari formulasi atau angka strategis terkait berapa NIB yang terbit dan berapa sertifikat halal yang keluar.
Bahlil mengungkapkan, sejak berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja hingga hari ini, sekitar empat juta pelaku usaha sudah mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB). Jumlah tersebut dinilai masih kurang, karena kata dia, Presiden Joko Widodo memerintahkan 100 ribu NIB diterbitkan per hari.
Dari total pelaku usaha yang sudah memiliki NIB, sambungnya, sebanyak 98 persen di antaranya merupakan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Hanya saja, Bahlil menyatakan, belum semua dari mereka mendapatkan sertifikat halal. "Dari 98 persen itu yang baru mendapat sertifikat halal masih minim," ujar Bahlil.