Rabu 12 Apr 2023 17:13 WIB

Kondisi DAS di Pulau Jawa Kronis Sejak 90-an, ‘Sulit Disembuhkan’

Hasil survei ITB, kondisi mayoritas DAS di Pulau Jawa dalam kondisi kritis.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Erik Purnama Putra
Foto udara suasana lahan permukiman dan pertanian di kawasan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (11/10/2022).
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Foto udara suasana lahan permukiman dan pertanian di kawasan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (11/10/2022).

REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Sampah selama ini dianggap menjadi penyebab utama datangnya banjir. Namun, berdasarkan hasil diskusi mendalam yang melibatkan setidaknya 33 orang yang mewakili pemerintahan pusat, provinsi, dan daerah, Perhutani, akademisi, dan aktivis, terungkap adanya sederet pemicu terjadinya banjir yang jarang disadari.  

 

Anggota Kelompok Keahlian Perencanaan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB, Hadi Nurcahyo mengungkapkan, kronisnya kondisi tutupan hutan daerah aliran sungai (DAS) merupakan salah satu dari deretan penyebab utama terjadinya banjir.

Melalui surveinya, Hadi memaparkan, kondisi mayoritas DAS di Pulau Jawa dalam kondisi kritis. "DAS Citarum sudah kronis sejak tahun 90-an dan semakin sulit untuk dipulihkan, dan bukan hanya DAS Citarum saja tapi seluruh DAS di Jawa juga sudah berada dalam kondisi kritis," ucap Hadi di acara focus group discussion (FGD) tentang Kecukupan Tutupan Hutan di Sekolah Pascasarjana Universitas Padjajaran, Kota Bandung, Selasa (12/4/2023).

 

Kondisi kronis itu, kata dia, disebabkan kurangnya proporsi tutupan hutan sebagai area serapan air. Hadi menambahkan, idealnya, DAS membutuhkan proporsi tutupan hutan setidaknya 40 persen agar kinerja hidrologisnya dapat dinyatakan sehat.

 

Ironinya, kata Hadi, tak banyak yang tau penyebab kronisnya kondisi DAS. Sejauh ini, persoalan pencemaran, banjir hingga bencana hidrologis lainnya dianggap berakar dari pencemaran lingkungan, khususnya sampah. Namun sejatinya, terdapat sumber pencemaran nonpoint yang selama ini terabaikan, khususnya deforestasi.

 

"Untuk menyelesaikan persoalan DAS, bukan hanya dari point sources (limbah industri dan sampah rumah tangga) tapi juga dari nonpoint sources (landskap/deforestasi)," ujar Hadi.

Sementara itu, Guru Besar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Universitas Padjadjaran, Chay Asdak menjelaskan, kondisi tutupan hutan di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Barat semakin memprihatinkan. Hal itu disebabkan pemanfaatan lahan besar-besaran di wilayah rentan longsor, seperti daratan tinggi, pegunungan, daerah hulu singai, dan lereng.

Wilayah rentan itu harusnya memiliki tutupan hutan, atau lahan resapan setidaknya 40 persen. Menurut Chay, wilayah tersebut juga sepatutnya dijadikan wilayah hutan lindung. "Contoh paling mudah adalah wilayah Kabupaten Bandung Utara, daerah itu harusnya dijadikan konservasi alam bahkan hutan lindung, agar potensi terjadinya bencana hidrologis seperti banjir dan longsor minim," ujarnya.

Realitanya, kata Chay, wilayah tersebut justru dijadikan destinasi wisata dan tempat menjamurnya vila-vila mewah. Pembabatan hutan yang difungsikan sebagai area komersil membuat fungsi tutupan hutan dan lahan resapan tidak maksimal bahkan tidak berfungsi sama sekali.

 

"Tapi sedihnya, banyak yang tidak sadar bahkan mengabaikan kronisnya kondisi tutupan hutan dan DAS, jadi saat terjadi banjir bandang, yang disalahkan itu sampah, padahal ada penyebab yang lebih kompleks dari itu," ujar Chay.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement