REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Sebuah satelit milik NASA yang mati hanya berjarak satu jam dari Bumi. Satelit itu memiliki peluang 1:2.500 untuk membunuh seseorang saat jatuh. Para astronom telah menyusun peta zona dampak potensial.
Pesawat seukuran kontainer pengiriman seberat 272 kg itu diperkirakan memasuki kembali atmosfer Bumi pada pukul 21.30 waktu setempat. Pesawat itu dihentikan operasionalnya oleh badan antariksa pada 2018, karena kegagalan komunikasi.
NASA mengatakan tidak akan mengungkap lokasi masuk kembali pesawat, karena mengingat masih ada ketidakpastian kapan dan di mana itu akan turun. Namun, sebuah program luar angkasa keamanan nasional, Aerospace menunjukkan puing-puing reruntuhan pesawat itu sehingga bisa meneraka jatuh di mana saja di Amerika Selatan, Afrika, atau Asia. Ada kemungkinan 75 persen puing-puing jatuh ke laut, NASA menyebut kemungkinan kecil puing-puing mengarah ke daratan.
Profesor astronotika di University of Southampton di Inggris, Hugh Lewis mengatakan kejatuhan puing-puing pesawat masih memungkinkan adanya korban. “Sayangnya, banyak orang tinggal di wilayah garis lintang, yang berarti kemungkinan korban masih relatif tinggi,” tulis Lewis di Twitter dilansir Daily Mail, Jumat (21/4/2023).
Sementara NASA mengatakan bahwa pesawat itu dapat masuk kembali sekitar pukul 21.30 waktu setempat, beberapa laporan menunjukkan waktu pukul 19.00 waktu setempat, kurang lebih dalam jangka 16 jam.
Laporan muncul secara daring menunjukkan potongan satelit diperkirakan jatuh sekitar pukul 17.00 di atas Kyiv Ukraina. Banyak dari klaim pejabat kota negara bagian mengirimkan peringatan tak lama setelah tembakan bola api menembus langit malam. Namun, seorang astronom dan astrofisikawan di Pusat Astrofisika Harvard–Smithsonian, Jonathan McDowell mengatakan bahwa objek tersebut “jelas bukan” satelit NASA atau puing-puing luar angkasa. “(Itu bisa berupa meteor alami atau serangan rudal Rusia,” kata McDowell.
Pesawat yang mati tersebut adalah Reuven Ramaty High Energy Solar Spectroscopic Imager (RHESSI) milik NASA, yang bertugas mengamati semburan matahari ketika diluncurkan pada 5 Februari 2002. Satelit itu dinonaktifkan pada 2018, setelah NASA gagal berkomunikasi dengannya. Peta proyek reentry Aerospace menempatkan RHESSI di wilayah barat laut India, yang menunjukkan lokasi ini berada di atas Bumi.
''Berkat kekhasan orbit dan Bumi bulat, probabilitas dampak untuk setiap elemen pesawat ruang angkasa yang bertahan ke permukaan Bumi paling besar pada garis lintang sekitar 38 derajat Utara dan Selatan," ujar Lewis.
Meskipun kemungkinan puing-puing mengenai manusia tidak terlalu mengerikan, risikonya tetap lebih tinggi daripada seseorang yang tertabrak mobil. RHESSI diluncurkan di atas roket Orbital Sciences Corporation Pegasus XL, yang bertujuan untuk mencitrakan elektron berenergi tinggi yang membawa sebagian besar energi yang dilepaskan dalam semburan matahari. Ini dicapai dengan satu-satunya instrumen, spektrometer pencitraan, yang merekam sinar-X dan sinar gamma dari Matahari.