REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Ibnu Sina (980-1037) merupakan seorang seorang filsuf muslim sekaligus dokter ternama yang muncul dalam sejarah peradaban Islam. Ia juga dikenal sebagai ilmuan yang memiliki pemikiran cemerlang dan pelopor kajian psikologi.
Dalam salah satu risalahnya dalam buku “Psikologi Islam: Rujukan Utama Ilmu Psikologi Dunia” terbitan TuROS, Ibnu Sina menjelaskan tentang keadaan tubuh setelah mati. Apakah jiwa itu akan hancur setelah manusia meninggal dunia?
Ibnu Sina mengatakan, substansi manusia atau jiwanya tidak musnah setelah tubuh mengalami kematian dan tidak hancur setelah berpisah dari tubuh, justru jiwa itu dikekalkan oleh penciptanya yang Mahakekal. Hal ini disimpulkan Ibnu Sina atas dasar beberapa argumentasi.
Pertama, substansi jiwa manusia lebih kuat daripa substansi tubuhnya. Jiwa manusia adalah penggerak, pengatur, dan operator tubuh. Tubuh terpisah dan mengikuti jiwa. Jadi, terpisah dari tubuh tak membahayakan eksistensi jiwa.
“Jasad tetap bertahan setelah kematian sehingga itu tidak mengancam eksistensi jiwa, apalagi keberlangsungan jiwa setelah kematian,” jelas Ibnu Sina.
Kedua, jiwa termasuk kategori substansi. Kabersamaannya dengan tubuh termasuk kategori realasi. Relasi adalah aksiden paling lemah karena posisi eksistensinya tidak sempurna, justru butuh sesuatu yang lain, yakni sebuah subjek.
Maka, kata Ibnu Sina, bagaimana mungkin substansi yang berdiri sendiri mengalami kerusakan akibat rusaknya aksiden paling lemah yang membutuhkannya?
Misalnya orang yang menjadi pemilik dan pengelola barang. Jika barangnya rusak, kata Ibnu Sina, pemilik tidak ikut rusak akibat barangnya rusak. Oleh karenanya, ketika manusia tidur, indra dan pengindraan tidak bekerja, manusia itu tergeletak seperti mayat.
Ibnu Sina mengatakan, tubuh yang tidur ada pada keadaan yang sama dengan mayat, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw,
Annaumu akhul mauti
Artinya: “Tidur itu saudara kematian.” (HR al-Baihaqi).
Ibnu Sina melanjutkan, dalam tidurnya lalu manusia melihat dan mendengar banyak hal, bahkan menjangkau hal-hal gaib yang tidak gampang dia lihat saat kondisi sadar. Menurut Ibnu Sina, ini bukti nyata yang menjadi argument bahwa substansi jiwa tidak membutuhkan tubuh ini. Bisa jadi, jiwa melemah karena bersama tubuh, bisa juga menguat ketika tubuh beristirahat dan tak mengganggunya.
“Ketika tubuh mati dan hancur, substansi jiwa menjadi termurnikan dari jenis kebutuhan,” kata Ibnu Sina.