Senin 01 May 2023 15:11 WIB

UU Cipta Kerja Dinilai Semakin tidak Lindungi Buruh, Legalkan Outsourcing

UU Cipta Kerja semakin legalkan kerja yang tidak melindungi para buruh.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Nora Azizah
Sejumlah buruh saat melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (1/5/2023). Aksi yang dilakukan dalam rangka peringatan Hari Buruh memberikan sejumlah tuntutan diantaranya meminta pemerintah untuk mencabut Omnibus Law UU No 6 Tahun 2023 tentang Ciptaker, cabut parliamentary threshold 4 persen dan Presidential threshold 20 persen, sahkan RUU DPR dan perlindungan pekerja rumah tangga, tolak RUU Kesehatan, Reforma Agraria dan kedaulatan pangan serta hapus outsourcing tolak upah murah.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah buruh saat melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (1/5/2023). Aksi yang dilakukan dalam rangka peringatan Hari Buruh memberikan sejumlah tuntutan diantaranya meminta pemerintah untuk mencabut Omnibus Law UU No 6 Tahun 2023 tentang Ciptaker, cabut parliamentary threshold 4 persen dan Presidential threshold 20 persen, sahkan RUU DPR dan perlindungan pekerja rumah tangga, tolak RUU Kesehatan, Reforma Agraria dan kedaulatan pangan serta hapus outsourcing tolak upah murah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Meret 2023 kemarin semakin merugikan para buruh. Bertepatan Hari buruh Internasional (May Day), Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, UU Cipta Kerja semakin melegalkan praktik fleksibilitas hubungan kerja yang semakin tak melindungi buruh dengan kontrak kerja atau PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu).

"Ini bertambah masa toleransi dari tiga tahun menjadi lima tahun," ujar Isnur dalam siaran persnya, Senin (1/5/2023).

Baca Juga

Selain itu, Isnur menyebut UU Cipta kerja juga mendorong praktik outsourcing (alih daya) semakin liar dan tidak terkontrol. UU Cipta Kerja juga memutihkan dosa dengan hilangnya peraturan akan beralih menjadi pada perusahaan user jika melanggar.

Penambahan alasan Pemutusan Kerja (PHK) dan pengurangan kompensasi PHK menjadi alasan yang memudahkan Perusahaan melakukan PHK kepada Buruh. Sehingga kepastian kerja dan hak terhadap buruh menjadi minim.

Kedua, lanjut Isnur, UU Cipta kerja juga melegalkan praktik fleksibilitas waktu kerja. Menurutnya, pengusaha dapat memperpanjang waktu kerja buruh.

"Di lain sisi Perusahaan dapat mengurangi hak istirahat buruh. Hal ini dapat terlihat dalam batasan maksimal waktu lembur semula maksimal 3 jam sehari dan 14 jam seminggu menjadi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu," ujarnya.

Selain itu, lanjut dia, aturan ini tidak memiliki aturan pasal tentang jangka waktu serta mekanisme perpanjangan kontrak kerja. Sehingga aturan ini berpotensi dijadikan alasan bagi Pengusaha untuk menjadikan Buruh sebagai pekerja kontrak seumur hidup.

Ketiga, UU Cipta Kerja juga melegalkan praktik fleksibilitas upah, aturan ini dapat terlihat dalam aturan tentang penentuan besaran upah yang dimonopoli oleh Pemerintah dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) tanpa melibatkan serikat buruh dalam penentuan upah.

Karena itu, dia menyebut negara semakin hilang dari melindungi buruh/pekerja. Padahal hari buruh menjadi momentum melihat negara melaksanakan tugasnya melindungi segenap bangsa Indonesia.

"YLBHI justru mencatat negara semakin hilang dari melindungi buruh/pekerja, negara membuat kebebasan berserikat, berekspresi dan berpendapat semakin direpresi, serta keadilan semakin nampak hanya untuk pemodal dan oligarki. YLBHI mencatat bahwa UU Cipta kerja semakin memperparah dan membuat sulit kondisi buruh/pekerja," ujar Isnur.

Sepanjang tahun 2022, YLBHI dan 18 LBH Kantor menerima 270 pengaduan yang diadukan oleh 2.584 pencari keadilan dan melakukan pendampingan terhadap 62 kasus yang tersebar di 18 wilayah. Pengaduan tersebut didasari beberapa konflik perburuhan diantaranya pemutusan hubungan kerja, perselisihan hak, kriminalisasi serta union busting dan perselisihan hubungan industrial lainnya.

Aktor yang diadukan dari jumlah pengaduan tersebut diantaranya korporasi lokal dan nasional sebanyak 227 kasus, individu maupun kelompok swasta yang memiliki pengaruh serta kekuasaan ditempat kerja sebanyak 22 kasus, pejabat pemerintah lokal sebanyak 14 kasus, individu maupun kelompok swasta yang memiliki pengaruh serta kekuasaan di sebuah sekolah sebanyak 8 kasus dan pejabat pada tingkat nasional sebanyak 6 kasus.

Adapun pelanggaran hak tertinggi yang diadukan diantaranya hak untuk bekerja dengan 24 pelanggaran, hak khusus bagi pekerja 23 pelanggaran, hak untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil sebanyak 14 pelanggaran, hak untuk mendapatkan upah yang adil 13 pelanggaran, hak standar hidup yang layak 12 pelanggaran, hak untuk mendapatkan pemberitahuan lebih awal tentang PHK 10 pelanggaran dan hak untuk mendapatkan pekerjaan yang memadai dengan 10 pelanggaran.

Secara garis besar, kata Isnur, pola penindasan terhadap buruh tidak memiliki perbedaan yang signifikan dari tahun-tahun sebelumnya.

"YLBHI memproyeksikan kondisi diatas akan diperparah dengan pasca pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 dengan memuat beberapa pasal yang memangkas jaminan hak-hak buruh dalam berbagai aspek, fleksibilitas pasar kerja (labour market flexibility) menjadi nafas pembentukan substansi UU ini," ujarnya.

Selain ketiga hal tersebut, jaminan hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat terhadap buruh semakin dikebiri dengan hadirnya Pasal 273 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memuat aturan tentang ancaman pidana demonstrasi. Aturan ini akan melemahkan posisi tawar serikat buruh yang menjadikan demonstrasi sebagai metode perjuangan buruh.

"Kedua perangkat aturan perundang-undangan tersebut merupakan bentuk nyata Pemerintah dan DPR menghamba kepada oligarki dan tidak berpihak pada Buruh/Pekerja yang dilakukan dengan cara-cara tidak partisipatif dan tergesa-gesa," ujarnya.

Karena itu, dalam peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2023, YLBHI mendesak Presiden dan DPR untuk membatalkan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, demokrasi dan hak asasi manusia. YLBHI juga mendesak Pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU PRT.

"Mendesak Pemerintah dan DPR menjalankan amanah reformasi salah satunya demokrasi ekonomi dengan melakukan audit, mengubah dan menyesuaikan seluruh aturan perundang-undangan yang bertentangan prinsip demokrasi ekonomi," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement