REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul memaparkan ada tiga alasan mengapa dosen harus berserikat di momen Hari Buruh Internasional yang jatuh pada Senin (1/5/2023).
"Setelah terbitnya Permenpan RB Nomor 1 tahun 2023, ada fenomena gunung es yang akhirnya muncul ke permukaan, dan ada tiga alasan mengapa dosen harus berserikat untuk melindungi hak-hak dasar tenaga kerja di perguruan tinggi," kata Satria pada diskusi tentang membangun solidaritas akademisi di tengah birokratisasi perguruan tinggi yang diikuti secara daring dari Jakarta.
Alasan pertama adalah kesadaran kolektif bahwa dosen adalah buruh, yang definisi standarnya telah diatur di pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh juncto Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Siapapun yang bekerja dan menerima upah adalah buruh. Terkadang pandangan dosen juga buruh di kalangan internal dosen sendiri ada dilematika dan persoalan. "Tetapi sebagaimana kita yang menjual jasa dan melakukan aktivitas sesuai kemampuan, itu juga termasuk buruh," ujar Satria.
Alasan kedua, yakni karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa situasi dan kondisi ketenagakerjaan semakin beragam, sehingga dosen harus berserikat Ragam pekerja tersebut, di antaranya pekerja yang tidak memiliki keterampilan (unskilled labour), pekerja yang memiliki keterampilan (skilled labour), dan freelancer (tenaga kerja lepas) yang juga merupakan bagian dari pekerja.
"Dosen masuk skilled labour, oleh karena itu pikiran, karya dan kerjanya di dunia akademik tidak boleh didisiplinkan, dan di sisi lain harus juga diperjuangkan bagaimana agar kesejahteraan dosen menjadi isu utama," kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya ini.
Selain itu, menurutnya, kondisi dosen dalam konteks daya tawar dengan pimpinan perguruan tinggi juga sulit, sedangkan kemampuan berhimpun, berserikat atau berpendapat, acapkali tertekan atau didiskriminasi.
"Banyak tekanan, ancaman, dan intimidasi terhadap insan akademik hanya karena memperjuangkan hak-hak dasarnya," kata Satria.
Dari kedua alasan yang telah diungkapkan, masuk pada kesimpulan ketiga, yakni dosen harus bersatu untuk mengatasi setumpuk persoalan yang kerap dihadapi belakangan ini, karena dengan serikat, persatuan dosen bisa dibangun.
"Dosen harus bersatu, mementingkan inklusivitas konsolidasi, yakni bersatu dengan sesama buruh lainnya untuk posisi tawar yang lebih kuat terhadap masalah regulasi yang dapat merugikan pada Permenpan-RB Nomor 1 tahun 2023," kata Satria.
Ada poin-poin permasalahan, menurut Satria, yang penting menjadi bahasan pada Permenpan-RB Nomor 1 tahun 2023, yakni pengerjaan beban administrasi dosen yang berlebihan, terlalu banyaknya aplikasi yang tidak terintegrasi, dan kebijakan sertifikasi dosen yang terlalu rumit dan menjadi peluang praktik kecurangan.
Selain itu, otonomi perguruan tinggi yang transparan dan akuntabel untuk governance Sumber Daya Manusia juga harus diutamakan, kinerja dan jenjang karir dosen yang seharusnya khusus bagi penilaian dosen, dan tidak sama seperti Aparatur Sipil Negara (ASN) lainnya.
Kemudian, pendisiplinan, tekanan, dan ancaman terhadap kebebasan akademik dan berekspresi juga akan menjadi persoalan dalam aturan tersebut apabila dosen tidak berserikat.