REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Noch T Mallisa, menekankan pentingnya ketersediaan akses jamban sehat bagi masyarakat demi mempercepat penurunan angka gagal tumbuh atau stunting di Indonesia. Hal ini seiring dengan target penurunan angka stunting dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sebesar 14 persen pada 2024.
Mallisa mengatakan, ketersediaan jamban sehat dan memadai dapat meminimalisasi terjadinya kontaminasi lingkungan dan penyebaran penyakit. Hal ini sangat penting untuk mengurangi risiko infeksi saluran pencernaan dan penyakit diare yang dapat menyebabkan kekurangan gizi dan stunting pada anak-anak.
“WC for all itu sangat penting. Dalam arti jamban yang sehat. Sebab ini menjadi salah satu indikator untuk menurunkan stunting. Tapi, berapa besar potensinya untuk penurunan angka stunting, itu yang kami minta untuk dilakukan risetnya,” kata Mallisa seusai menerima audiensi pakar sanitasi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Budi Laksono di gedung Bina Graha Jakarta, dikutip pada Kamis (11/5/2023).
Ia mengatakan, nantinya KSP akan menginisiasi pembangunan jamban sehat untuk masyarakat bersama kementerian/lembaga setelah mengetahui berapa besar potensi penurunan stunting dari ketersediaan jamban sehat.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi menginstruksikan penanganan stunting di Indonesia harus dilakukan secara terintegrasi oleh kementerian/lembaga terkait. Sebab, masalah stunting tidak hanya terkait dengan makanan dan gizi, tetapi juga dengan lingkungan dan sanitasi, khususnya akses ke jamban yang sehat.
Pakar Sanitasi, Budi Laksono mengungkapkan, pada 2021 masih terdapat Rp 14,9 juta keluarga di Indonesia yang tidak memiliki jamban. Hal ini memiliki implikasi yang signifikan bagi Indonesia. Bukan hanya pada bidang kesehatan, tetapi juga pada pembangunan sumber daya manusia dan ekonomi.
“Penyakit nomor satu dan dua itu adalah penyakit yang berkaitan dengan pencernaan, seperti tifoid dan diare. Tingginya kasus penyakit tersebut banyak menghabiskan anggaran kesehatan,” katanya.
Budi yang pernah menggagas gerakan 20 juta jamban untuk masyarakat ini menilai, salah satu tantangan untuk meningkatkan kualitas sanitasi di Indonesia dengan membangun jamban, yakni masih adanya persepsi di masyarakat bahwa jamban harus bertembok dan beralas keramik. Namun, pada kenyataanya jamban tersebut belum tentu bisa disebut jamban yang sehat.
“Sehat tidaknya jamban ditentukan oleh fungsi dan kemampuannya dalam menyimpan feses secara kedap, tidak mengalirkan feses pada sumber air, dan memiliki chemical chamber untuk mengolah feses. Jadi bukan dilihat dari tembok atau keramiknya. Persepsi ini yang harus diubah,” kata Budi.
Karena itu, Budi melanjutkan, ketersediaan jamban murah dan sehat menjadi penting demi mencegah persebaran patogen yang membahayakan sistem pencernaan manusia. “Penyakit-penyakit pencernaan seperti diare ini mengancam kehidupan anak. Ini yang harus diselamatkan,” kata dia.