REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW Hijrah ke Madinah sesuai perintah Allah SWT. Di sana, beliau berhasil memancangkan sendi-sendi masyarakat Islam yang baru, dengan menciptakan kesatuan akidah, politik, dan sistem kehidupan di antara orang-orang Muslim.
Mengutip buku Sirah Nabawiyah, Syekh Shafiyyurahman Al Mubarakfuri menyebutkan bahwa setelah hijrah, Rasulullah merasa perlu mengatur hubungan dengan selain golongan muslim. Perhatian beliau saat itu terpusat untuk menciptakan keamanan, kebahagiaan, dan kebaikan bagi semua manusia, mengatur kehidupan di daerah itu dalam satu kesepakatan.
Untuk itu, Rasulullah menerapkan undang-undang yang luwes dan penuh tenggang rasa, yang tidak pernah terbayangkan dalam kehidupan dunia yang selalu dibayangi fanatisme.
Tetangga yang paling dekat dengan Muslim di Madinah adalah orang-orang Yahudi. Sekalipun memendam kebenciaan dan permusuhan terhadap Muslim, tetapi mereka tidak berani menampakkannya.
Rasulullah pun menawarkan perjanjian kepada mereka, yang intinya memberikan kebebasan menjalankan agama dan memutar kekayaan, tidak boleh saling menyerang dan memusuhi.
Perjanjian ini sendiri dikukuhkan setelah pengukuhan perjanjian di kalangan orang-orang Muslim. Inilah butir-butir perjanjian tersebut:
Pertama, Orang-orang Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan orang-orang Mukmin. Bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang Muslim agama mereka, termasuk pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri. Hal ini juga berlaku bagi orang-orang Yahudi selain Bani Auf.
Kedua, Orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri. begitu pula orang-orang Muslim. Ketiga, Mereka harus bahu-membahu dalam menghadapi musuh yang hendak membatalkan piagam perjanjian ini.
Keempat, mereka harus saling menasihati, berbuat bijak dan tidak boleh berbuat jahat. Kelima, tidak boleh berbuat jahat terhadap seseorang yang sudah terikat dengan perjanjian ini.
Keenam, wajib membantu orang yang dizalimi. Ketujuh, orang-orang Yahudi harus berjalan seiring dengan orang-orang Mukmin selagi mereka terjun dalam kancah peperangan.
Kedelapan, Yatsrib (Madinah) adalah kota yang dianggap suci oleh setiap orang yang menyetujui perjanjian ini. Kesembilan, Jika terjadi sesuatu atau pun perselisihan di antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini, yang dikhwatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya adalah Allah dan Muhammad.
Kesepuluh, Orang-orang Quraisy tidak boleh mendapat perlindungan dan tidak boleh ditolong. Kesebelas, Mereka harus tolong-menolong dalam menghadapi orang yang hendak menyerang Yatsrib (Madinah).
Keduabelas, Perjanjian ini tidak boleh dilanggar kecuali memang dia orang yang zalim atau jahat. Dengan disahkannya perjanjian ini, Madinah dan sekitarnya seakan-akan merupakan negara yang makmur, ibu kotanya Madinah dan kepala negara, jika boleh disebut begitu, adalah Rasulullah. Pelaksana pemerintahan dan penguasa mayoritas adalah orang-orang Muslim. Sehingga dengan begitu, Madinah benar-benar menjadi ibu kota bagi Islam.
Untuk melebarkan wilayah yang aman dan damai, Rasulullah sudah siap-siap melibatkan kabilah-kabilah lain di kemudian hari dalam perjanjian ini.