Senin 22 May 2023 15:55 WIB

Pemerintah Diminta Tepati Komitmen Berlakukan Masa Percobaan Terpidana Mati

Amnesty mencatat pada 2022, sudah ada 112 negara yang menghapuskan pidana mati.

HP (23 tahun), tersangka kasus pembunuhan mutilasi dihadirkan Markas Polda DIY, Kota Yogyakarta, Rabu (22/3/2023). HP dijerat dengan ancaman hukuman maksimal mati atau seumur hidup.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
HP (23 tahun), tersangka kasus pembunuhan mutilasi dihadirkan Markas Polda DIY, Kota Yogyakarta, Rabu (22/3/2023). HP dijerat dengan ancaman hukuman maksimal mati atau seumur hidup.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru melalui Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 menuai apresiasi sekaligus kritik, khususnya terkait Pasal 100 yang mengatur penjatuhan masa percobaan dalam pidana mati selama 10 tahun. Saat ini, di tingkat global, terdapat peningkatan jumlah negara yang menghapuskan hukuman mati.

Perwakilan Amnesty Internasional Indonesia, Zaky Yamani menjelaskan, pada 2022, sudah ada 112 negara yang menghapuskan pidana mati. Angka itu meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya ketika jumlah yang menghapus pidana mati masih di bawah 110 negara.

"Ketentuan pidana mati dalam KUHP baru merupakan perubahan yang mungkin berdampak positif. Namun demikian, kita haruslah berhati-hati dalam menyikapinya," ujar Zaky dalam focus group discussion bertema 'Menjembatani Jurang Kematian: Perlindungan Hak untuk Hidup melalui Kebijakan Perantara (Interim)' di Kota Bandung, Jawa Barat, dikutip Senin (22/5/2023).

Zaky menjelaskan, dengan adanya UU Nomor 1 Tahun 2023 maka terdapat kemungkinan seorang terpidana mati mendapatkan perubahan hukuman menjadi pidana penjara seumur hidup setelah menjalani pidana percobaan selama 10 tahun.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai, semangat pemberian masa percobaan 10 kepada terpidana mati dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 adalah jalan tengah bagi perdebatan penghapusan pidana mati (abolisionis) dan pemberlakuan pidana mati (retensionis).

Menurut Pohan, penerapan masa percobaan dalam vonis pidana mati mencerminkan nilai-nilai Pancasila, karena berupaya menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat. Kendati demikian, Pohan menilai, semangat itu terancam dengan norma dalam Pasal 100 ayat (2) yang mewajibkan dimuatnya masa percobaan dalam amar putusan pengadilan.

"Jika melihat naskah akademik (dari KUHP baru) sebenarnya sudah jelas masa percobaan ini diberikan secara otomatis. Namun sekarang diwajibkan Pasal 100 ayat (2) (UU 1/2023) untuk dimuat dalam putusan. Apakah berarti kalau tidak dicantumkan (dalam amar putusan), tidak ada masa percobaan? Inilah yang jangan sampai terjadi," ucap Pohan.

Ketua Pusat Kebijakan Kriminal Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Nella Sumika Putri, menyoroti sumirnya ketentuan penilaian perilaku terpidana mati dalam UU Nomor 1 Tahun 2023. Terutama, sambung dia, di beberapa kategori penilaian yang mungkin bersifat subjektif. "Bagaimana menilai seseorang berkelakuan terpuji dalam sel penjara? Siapa yang berwenang melakukan penilaian? Apa saja parameternya?" ujar Nella.

Dia juga mempertanyakan parameter untuk mengirimkan seorang terpidana mati ke lapangan eksekusi. Karena itu, Nella meminta negara untuk benar-benar memikirkan dengan matang apa saja parameter yang dapat digunakan untuk memutuskan kapan seorang terpidana mati layak dieksekusi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement