Senin 22 May 2023 16:26 WIB

Refly Harun: PTUN Parah Kalau Mencampur Pengadilan Tata Negara dengan Administrasi

PTUN tidak bisa mengubah substansi putusan sidang paripurna DPD RI.

Red: Joko Sadewo
Empat kandidat calon wakil ketua MPR dari unsur DPD untuk menggantikan Fadel Muhammad,  usai menyampaikan visi misi pada sidang paripurna DPD RI 18 Agustus 2022. Dalam pemungutan suara Tamsil Linrung (dua dari kanan) memperoleh suara terbanyak.  (foto ilustrasi)
Foto: istimewa/doc humas
Empat kandidat calon wakil ketua MPR dari unsur DPD untuk menggantikan Fadel Muhammad, usai menyampaikan visi misi pada sidang paripurna DPD RI 18 Agustus 2022. Dalam pemungutan suara Tamsil Linrung (dua dari kanan) memperoleh suara terbanyak. (foto ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA — Pakar hukum tata negara Refly Harun, mengingatkan, parah jika sebuah keputusan sidang paripurna bisa di-challenge Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ia meminta agar tidak mencapur-campur kewenangan pengadilan tata negara dengan pengadilan administrasi.

Refly mengatakan putusan PTUN yang mengabulkan gugatan Fadel Muhammad atas SK Pimpinan DPD RI terkait mengganti posisinya sebagai Wakil Ketua MPR adalah keputusan yang melebihi kewenangan PTUN.

Dipaparkan Refly, yang bisa di-challenge PTUN adalah keputusan yang sifatnya individual bukan keputusan yang didasarkan pengambilan suara terbanyak. SK Penggantian Fadel Muhammad  bukan keputusan Ketua atau Pimpinan DPD, tetapi keputusan anggota DPD.

“Masa keputusan anggota DPD dibatalkan lewat pengadilan. Harusnya kalau mau dibatalkan melalui sidang paripurna DPD juga,” kata Refly, Senin (22/5/2023).

Sebenarnya, lanjut Refly, suatu saat ia akan mengusulkan, karena ini berkaitan dengan hukum tata negara harusnya yang bisa membatalkan adalah Mahkamah Konstitusi. “Tapi untuk sementara kan belum.  Sebagai contoh UU kan bisa dibatalkan oleh pengadilan tetapi oleh Mahkamah Konstitusi bukan PTUN. Jadi kita jangan mencampur-campurkan pengadilan tata negara dengan pengadilan administasi,” ungkapnya.

Wilayah PTUN, kata Refly, hanya masalah administrasi bukan keputusan politis. Pergantian wakil ketua MPR adalah keputusan politik bukan keputusan administrasi. “Persoalan surat menyurat, misalnya pimpinan DPD bersurat pada pimpinan MPR itu mekanisme tindak lanjut saja dari keputusan politik anggota DPD,” jelas dia.

Kalaupun ada kesalahan administrasi, kata Refly, tidak boleh menghilangkan substansi. Jika administasinya dianggap keliru, maka tinggal mengajukan ulang. "Contohnya, jika ada penggantian pimpinan DPR yang mengajukan kan bukan ketua partai politik, tapi ketua fraksi, itu kalau ada yang salah maka tidak membatalkan substansi,” jelas Refly.

Jika memang sampai sekarang belum ada mekanisme pengadilan untuk membatalkan sidang paripurna, kata Refly, maka yang bisa membatalkannya hanya sidang paripuna. Caranya dengan menggalang sidang paripurna baru. “Kalau penggalangan paripurna tidak berhasil, ya jangan cari jalan samping,” kata pakar hukum tata negara ini.

Pengamat politik hukum dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti, mengatakan SK penggantian wakil ketua MPR bukanlah keputusan pimpinan DPD. Keputusan ini adalah keputusan para anggota DPD yang diadministrasikan oleh pimpinan DPD.

“Kalau pengadministrasian dianggap salah, itu tidak membatalkan keputusan sidang paripurna DPD,” ungkap Ray Rangkuti. Hasil sidang paripurna tentang penggantian Fadel Muhammad dengan Tamsil Linrung, menurut Ray Rangkuti, tetap sah.

Diingatkannya, PTUN tidak memiliki kewenangan untuk mengadili substansi dari hasil sidang paripurna DPD. Jika yang menjadi objek adalah penandatangan dilakukan oleh pimpinan DPD dan objek gugatan ini diterima PTUN, maka tetap tidak bisa membatalkan hasil sidang paripurna DPD.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement