Kamis 25 May 2023 21:32 WIB

PPATK Ungkap Modus Pencucian Uang Lewat E-commerce dan Thrifting

PPATK gandeng asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) dan Kementerian Perdagangan.

Red: Lida Puspaningtyas
Suasana pasar pakaian bekas impor Cimol, Gedebage, Kota Bandung, Kamis (23/3/2023). Pasar Cimol kembali buka setelah sempat tutup. Menanggapi larangan Thrifting, pedagang pasar Cimol minta solusi terhadap mata pencarian mereka yang terancam hilang terkait kebijakan itu.
Foto: Edi Yusuf/Republika
Suasana pasar pakaian bekas impor Cimol, Gedebage, Kota Bandung, Kamis (23/3/2023). Pasar Cimol kembali buka setelah sempat tutup. Menanggapi larangan Thrifting, pedagang pasar Cimol minta solusi terhadap mata pencarian mereka yang terancam hilang terkait kebijakan itu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan modus yang digunakan untuk mengaburkan aliran dana tindak pidana pencucian uang (TPPU) lewat transaksi di e-commerce dan thrifting. Plt Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK Danang Tri Hartono menjelaskan salah satu contoh yang telah ditemukan adalah lewat pemesanan fiktif di platform online travel agent yang ditemukan di salah satu daerah terpencil.

"Ini tanpa melihat tindak pidananya, jadi ada satu hotel di daerah terpencil, kabupaten, di masa pandemi Covid-19 transaksinya miliaran, menerima dari platform tiket online," katanya ditemui usai FGD terkait rezim anti pencucian uang di Bogor, Jawa Barat, Kamis (25/5/2023).

Danang menyebut, jika ditelisik dari jumlah kamar dan kondisi pandemi yang sepi, pendapatan hotel seharusnya tidak besar. Terlebih, transaksi pemesanan hotel melebihi tingkat okupansi kamar. PPATK pun menelusuri pemilik hotel yang menerima dana dan kasus pidana yang melibatkannya.

"Di masa pandemi harusnya (hunian hotel) sepi nggak banyak orang, ini transaksinya besar. Kita identifikasi pemilik hotelnya ini terkait tindak pidana apa, lalu dikirimkan dalam rangka apa. Dan, terdeteksi," katanya.