REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR Fraksi Partai Nasdem, Subardi, menilai Mahkamah Konstitusi (MK) sulit mengabulkan permohonan uji materi sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup. Alasannya, MK telah menguatkan sistem terbuka pada 2008 sehingga secara yuridis MK tidak mungkin mengubah sistem yang dikuatkan dari putusannya sendiri.
"Proporsional terbuka yang berlaku hingga saat ini telah dikuatkan oleh putusan MK tanggal 23 Desember 2008. Saat itu MK menyempurnakan sistem terbuka dengan perhitungan suara terbanyak. Artinya, MK sudah menguatkan sistem terbuka. Jadi, secara yuridis MK sulit mengubah sistem ini," ujar Subardi lewat keterangannya, Selasa (30/5/2023).
Dalam sejarahnya, MK belum pernah menganulir keputusannya sendiri. Beberapa putusan MK seperti masa jabatan presiden, ambang batas parlemen dan presiden, telah berkali-kali ditolak oleh lembaga tersebut, meskipun diajukan dengan alasan berbeda-beda.
Seharusnya MK memutus permohonan ini dengan jenis putusan ditolak. Jenis putusan ini mengatur bahwa undang-undang yang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Hal ini bermakna sistem terbuka yang sudah dikuatkan oleh putusan MK sejak 2009 merupakan penyempurnaan dari sistem pemilu sebelumnya. "Sistem terbuka ini sudah diputus MK. Artinya, sudah konstitusional. Maka seharusnya permohonannya ditolak. Jadi, bila MK mengabulkan permohonan ini sama saja mengacaukan tatanan pemilu yang sudah berjalan sejak 2009," ujar Subardi.
Mantan menteri hukum dan HAM Denny Indrayana mengeklaim telah mendapatkan bocoran putusan Mahkamah Konstitusi, yakni Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup alias sistem coblos partai. Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) enggan berspekulasi tentang pelaksanaan Pemilu 2024 berdasarkan informasi tak resmi tersebut.
Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengatakan, pihaknya mengikuti pemberitaan media massa bahwa Denny membocorkan putusan MK atas gugatan uji materi sistem proporsional terbuka. Kendati begitu, kata dia, KPU tidak akan berpegang pada informasi dari Denny tersebut karena tidak diketahui kebenarannya.
"KPU pegangannya nanti kalau sudah ada putusan MK dibacakan karena dari situlah kita mengetahui yang benar. Kalau yang sekarang ini (bocoran Denny), wallahu a'lam, kita tidak tahu," kata Hasyim kepada wartawan di Jakarta, Senin (29/5/2023).