REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny Januar Ali mengingatkan publik yang pro-Pancasila pernah mengalami penurunan pada rentang 2005 hingga 2018. Hal itu menjadi dasar LSI Denny JA menggelar Pendidikan Pancasila kepada pemuda-pemudi di 34 provinsi di Indonesia pada 2018.
Bahkan, Pendidikan Pancasila yang dilakukan Denny JA itu berhasil memecahkan rekor Guiness Book of World Record, yakni pendidikan politik terbesar untuk ukuran dunia. Sebanyak 2.100 pemuda-pemudi hadir dalam satu tempat dan di waktu yang sama di Jakarta untuk melakukan pemecahan rekor dunia, Guiness Book of World Record.
Dalam orasinya, Denny JA mengutip pernyataan dari presiden pertama RI Soekarno. “Beri saya 10 pemuda, maka saya akan mengguncang dunia.”
“Di ruangan ini, alhamdulillah, pasti ada lebih dari 10 pemuda. Hari ini kita tidak ingin mengguncangkan dunia, tapi kita ingin memecahkan rekor dunia,” tutur Denny JA dalam tayangan video di kanal Youtube LSI Denny JA Official, yang diunggah pada 19 Agustus 2018, dalam keterangan, Kamis (1/6/2023).
Video tersebut telah ditonton lebih dari satu juta kali sejak penayangannya. Denny JA menerima langsung piagam Guiness Book of World Record sehari setelah Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 2018. Juri dari Amerika Serikat beserta timnya datang langsung ke Jakarta.
“Mengapa kami ikut menghidupkan kembali Pancasila? Survei LSI Denny JA saat itu (2010-2018) menunjukkan antusiasme kepada negara agama meninggi. Sebaliknya, antusiasme kepada Pancasila menurun,” ujar Denny JA.
Dalam survey LSI Denny JA yang dilaksanakan di 34 provinsi pada 28 Juni hingga 5 Juli 2018, diketahui publik yang pro-Pancasila menurun. Pada 2005, publik yang pro-Pancasila angkanya mencapai 85,2 persen. Lima tahun setelahnya, yakni pada 2010 menjadi 81,7 persen. Lalu, pada 2015 angkanya menjadi 79,4 persen dan turun lagi menjadi 75,3 persen pada 2018. Artinya, dalam waktu 13 tahun, publik yang pro-Pancasila menurun 10 persen.
Ada tiga alasan publik yang pro-Pancasila menurun menurut survei LSI Denny JA. Pertama, kesenjangan ekonomi semakin tinggi dalam masyarakat. Kedua, paham alternatif semakin digaungkan di luar Pancasila. Intensifnya paham alternatif di luar Pancasila mampu menarik, terutama warga muslim. Ketiga, Pancasila tidak tersosialisasi dari masyarakat kepada masyarakat.
Menurunnya angka warga pro-Pancasila merata di level pendidikan. Lulusan di bawah SD pada 2005 mencapai 86,5 persen, pada 2010 mencapai 83,1 persen, pada 2015 mencapai 80,1 persen, dan pada 2018 mencapai 76,3 persen. Sedangkan lulusan SLTP yang pro-Pancasila pada 2005 mencapai 84,7 persen, pada 2010 sebesar 81,3 persen, pada 2015 mencapai 80,0 persen, dan pada 2018 sebesar 76,5 persen.
Untuk lulusan SMA, yang pro-Pancasila pada 2005 mencapai 83,3 persen, pada 2010 mencapai 80,1 persen, pada 2015 mencapai 78,4 persen, dan pada 2018 sebesar 74,0 persen. Sedangkan, yang pernah kuliah atau di atasnya yang pro-Pancasila tahun 2005 mencapai 82,2 persen hingga 2018 mengalami penurunan menjadi 72,8 persen.
Denny JA mengajak seluruh masyarakat untuk menghidupkan kembali pesan pentingnya Pancasila sebagai ideologi pengikat menjaga keberagaman Indonesia. “Di hari Pancasila, kita merenungkan kembali. Pancasila ikut menjadi roadmap yang mengantarkan negara mayoritas penduduk Islam di Indonesia bisa bertransisi ke demokrasi. Sementara di negara mayoritas Muslim lainnya, lebih tertatih dan sulit bertransisi menuju demokrasi,” ujar Denny JA.