REPUBLIKA.CO.ID, CAPE TOWN -- Para menteri luar negeri (menlu) dari negara-negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), bertemu di Afrika Selatan, Kamis (1/6/2023). Para menlu dari lima negara ini berusaha untuk memperkuat posisi mereka sebagai penyeimbang dari dominasi geopolitik Barat, setelah invasi Rusia ke Ukraina.
Pembicaraan ini merupakan pendahuluan dari pertemuan puncak di Johannesburg pada Agustus yang akan datang. Pertemuan puncak BRICS ini disebut kontroversial karena kemungkinan kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin, yang menjadi target penangkapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Mahkamah tersebut menuduhnya pada Maret lalu atas kejahatan perang, dengan mendeportasi paksa anak-anak dari wilayah yang diduduki Rusia di Ukraina. Moskow telah membantah tuduhan tersebut dan Afrika Selatan tetap mengundang Putin sejak Januari lalu.
Pihak berwenang Afrika Selatan mengonfirmasi bahwa menteri luar negeri dari Brazil, Rusia, India, dan Afrika Selatan akan menghadiri pertemuan Kamis ini di Cape Town, di mana Cina hanya menghadirkan seorang wakil menteri luar negerinya.
Tidak ada agenda yang diumumkan, namun para analis mengatakan bahwa diskusi akan bertujuan memperdalam hubungan di antara para anggota yang sudah ada. Kemudian akan mempertimbangkan perluasan keanggotaan kelompok ini.
"BRICS memposisikan dirinya sebagai alternatif bagi Barat dan sebagai cara untuk memberikan ruang bagi kekuatan-kekuatan baru," kata Cobus van Staden dari Institut Urusan Internasional Afrika Selatan.
Selama ini BRICS dipandang sebagai asosiasi negara yang kurang berperan dan hanya bersifat simbolis dari negara-negara berkembang yang berbeda. Namun, BRICS menegaskan dalam beberapa tahun terakhir telah mengambil bentuk yang lebih konkret, yang pada awalnya didorong oleh Beijing, dan sejak dimulainya perang Ukraina pada Februari 2022, dengan dorongan tambahan dari Moskow.
Diskusi mengenai pembentukan Bank Pembangunan Baru BRICS, dimana pendanaan proyeknya sempat terhenti di Rusia karena sanksi Barat, diperkirakan akan dilanjutkan pada Kamis, kata sumber Kementerian Luar Negeri Afrika Selatan.
Di tengah-tengah meningkatnya polarisasi geopolitik yang diakibatkan oleh perang di Ukraina, para pemimpin BRICS mengatakan bahwa mereka terbuka untuk menerima anggota-anggota baru, termasuk negara-negara penghasil minyak. Beberapa negara, seperti Venezuela, Argentina, Iran, Aljazair, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab termasuk dalam daftar negara-negara yang mengajukan permohonan bergabung secara resmi.
"Jika mereka dapat membawa negara-negara produsen minyak, itu akan menjadi kunci, mengingat sistem petrodolar," kata William Gumede, seorang analis politik Afrika Selatan yang telah banyak menulis tentang BRICS.
Afrika Selatan, meskipun merupakan anggota terkecil dari blok ini, telah jadi salah satu pendukung terbesar BRICS. Namun, persiapannya untuk KTT 22-24 Agustus telah diperumit oleh pengumuman ICC tentang Putin. Sebagai anggota ICC, Afrika Selatan akan menghadapi tekanan untuk menangkap Putin, jika ia menghadiri pertemuan di Johannesburg.
Putin belum mengkonfirmasi rencananya, dan Kremlin hanya mengatakan bahwa Rusia akan mengambil bagian pada "waktu yang tepat".
Posisi Afrika Selatan masih belum jelas. Pretoria telah mengatakan bahwa mereka akan menghormati kewajibannya di bawah keanggotaan ICC. Namun, pemerintah masih mempertimbangkan kemungkinan untuk menjadi tuan rumah bagi Putin atau bahkan memindahkan pertemuan ke China.
Analis politik independen Nic Borain mengatakan bahwa pemerintah terjebak di antara dukungannya terhadap BRICS dan persahabatan dengan Rusia di satu sisi dan reaksi keras dari mitra-mitra ekonomi Barat yang vital di sisi lain.
"Jelas, solusi terbaik bagi Afrika Selatan adalah jika Putin memutuskan untuk tidak datang."