REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mengajukan uji materi aturan menyangkut keterwakilan perempuan di legislatif ke Mahkamah Agung (MA) pada Senin (5/6/2023). Mereka mempersoalkan Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu.
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan merasa perlu mengambil langkah hukum ke MA. Apalagi setelah tak munculnya kepastian revisi Peraturan KPU No 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD, dan DPRD setelah Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri, KPU, Bawaslu dan DKPP.
"Pengajuan uji materi ini menindaklanjuti upaya dan tuntutan kami soal keterwakilan perempuan," kata Kuasa Hukum Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, Fadli Ramadhanil kepada wartawan, Senin (5/6/2023).
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mengajukan pengujian Pasal 8 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, Pasal 245 UU Pemilu dan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
Pasal itu intinya mengatur dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai: (a) Kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau (b) 50 atau lebih hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
"Kami meminta agar MA menyatakan Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU No. 10 Tahun 2023 bertentangan dengan UU Pemilu dan UU tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita," ujar Fadli.
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan juga meminta untuk ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas.”
"Sehingga Pasal 8 ayat (2) selengkapnya berbunyi 'dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas'," ujar Fadli.
Permohonan ini diwakili oleh lima pemohon terdiri dari dua badan hukum privat dan tiga perseorangan. Mereka yakni Perludem, Koalisi Perempuan Indonesia, eks komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini dan Wahidah Suaib.
"Dalam permohonan ini, kami juga mengajukan dua orang ahli yakni Dr Rotua Valentina Sagala dan Dr Ida Budhiati untuk memperkuat dalil-dalil permohonan yang diajukan," ujar Fadli.
Sebelumnya, Komisi II DPR menolak rencana KPU merevisi ketentuan penghitungan kuota minimal 30 persen bakal calon anggota legislatif (caleg) perempuan. Sikap Komisi II ini bertolak belakang dengan keinginan publik yang mendesak revisi karena ketentuan tersebut dapat mengurangi jumlah caleg perempuan dalam Pemilu 2024.
Penolakan itu tampak dalam pernyataan sikap semua kelompok fraksi dan dalam kesimpulan RDP Komisi II dengan KPU RI, Bawaslu RI, DKPP, dan Kemendagri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (17/5/2023). Dalam rapat yang berlangsung sekitar satu jam itu, semua yang berbicara adalah laki-laki.
Padahal berdasarkan simulasi yang dibuat Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, pendekatan pembulatan ke bawah itu dapat mengurangi jumlah bakal caleg DPR RI perempuan hingga 684 orang. Sedangkan pada level DPRD provinsi dan kabupaten/kota dapat mengurangi jumlah bakal caleg wanita hingga ribuan orang di seluruh Indonesia.