REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Disparitas harga jual antara elpiji subsidi dengan elpiji nonsubsidi menyentuh angka Rp 12.500 per kilogram. Hal ini menjadi salah satu penyebab masyarakat lebih memilih memakai elpiji subsidi daripada nonsubsidi.
Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Alfian Nasution menjelaskan saat ini elpiji subsidi atau gas melon tiga kilogram dibanderol Rp 4.250 per kilogram. Sedangkan untuk elpiji non subsidi dibanderol Rp 17.750 per kilogram.
"Disparitas harganya memang lebar. Sehingga terjadi penurunan konsumsi di elpiji nonsubsidi," kata Alfian di Komisi VII DPR RI, Rabu (14/6/2023).
Hal ini lantas membuat konsumsi elpiji bersubsidi dari tahun ke tahun terus naik sedangkan elpiji non subsidi semakin turun dari tahun ke tahun. Tercatat, pada 2018 konsumsi elpiji subsidi mencapai 6,53 juta ton. Konsumsi ini terus merangkak naik menjadi 6,84 juta metrik ton pada tahun 2019. Pada masa pandemi di tahun 2020 - 2021 juga mengalami kenaikan hingga 7,46 juta metrik ton. Di tahun 2022 realisasi mencapai 7,8 juta metrik ton dan di tahun ini akan kembali overkuota hingga 8,2 juta metrik ton.
Sedangkan realisasi penjualanelpiji nonsubsidi sejak tahun 2019 hanya 660 ribu metrik ton. Jumlah ini turun kembali pada tahun 2020 sebesar 620 ribu metrik ton, hingga pada tahun lalu realisasi penjualan elpiji nonsubsidi hanya 460 ribu metrik ton. Hingga Mei, realisasi penjualan elpiji nonsubsidi baru 150 ribu metrik ton.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto tak heran ketika shifting masyarakat mengkonsumsi elpiji subsidi ini karena disparitas harga yang tinggi. Ditengah kondisi ekonomi yang masih mencekik, masyarakat akan lebih memilih elpiji yang murah.
"Jadi tepat sasaran atau tidak ini sulit juga untuk dikatakaan. Disparitasnya besar. Daya beli masyarakat rendah jadi pasti pindah," ujar Mulyanto.