Ahad 18 Jun 2023 14:41 WIB

Komnas HAM Tegaskan Keadilan Bagi Korban Pelanggaran HAM, Termasuk Tragedi 1965

Komnas HAM menegaskan keadilan korban pelanggaran HAM berat, termasuk Tragedi 1965.

Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) melakukan Aksi Kamisan. Komnas HAM  menegaskan keadilan korban pelanggaran HAM berat, termasuk Tragedi 1965.
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) melakukan Aksi Kamisan. Komnas HAM menegaskan keadilan korban pelanggaran HAM berat, termasuk Tragedi 1965.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia kembali menegaskan setiap orang yang menjadi korban pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk tragedi 1965, berhak mendapatkan keadilan dan pemulihan dari negara.

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan langkah pemerintah dalam merumuskan definisi korban pelanggaran HAM berat yang berhak mendapatkan keadilan melalui mekanisme non-yudisial harus terus dikawal.

Baca Juga

"Tujuannya agar tidak ada korban yang tidak mendapatkan haknya sebagai korban pelanggaran HAM berat masa lalu," katanya.

Mengenai pernyataan pemerintah yang menyatakan 39 orang korban pelanggaran HAM yang terasing atau disebut juga dengan eksil bukan merupakan pengkhianat negara, Atnike mengaku tidak mengetahui dari mana pemerintah memperoleh data tersebut.

"Nah, saya tidak tahu dari mana pemerintah mendapatkan 39 nama itu. Itu harus dicek ke pemerintah," ujarnya.

Atnike mendorong media massa dan koalisi masyarakat sipil di Tanah Air untuk menanyakan lebih jauh ke pemerintah mengenai data yang menyebutkan 39 orang eksil peristiwa 1965 tersebut.

"Kalau pemerintah bilang hanya 39, tapi ada yang punya data lain maka harus dibandingkan," ujar dia.

Tidak hanya eksil yang tersebar di berbagai negara, Komnas HAM juga mendorong pemerintah untuk segera menemukan formula yang tepat dan efektif agar para korban 1965 di Indonesia mendapatkan pemulihan khususnya melalui mekanisme non-yudisial.

Ia mengatakan pemulihan tersebut bisa bermacam-macam, di antaranya pemberian kompensasi dalam bentuk materi, layanan kesehatan, dan program beasiswa hingga bantuan modal.

Namun, hingga kini perempuan yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Yayasan Jurnal Perempuan tersebut mengaku belum mengetahui bentuk kongkret yang akan dilakukan kementerian dan lembaga dalam mengatasi persoalan itu.

"Hal yang tidak kalah penting ialah pemulihan nama baik karena tidak selalu para korban membutuhkan materi untuk pemulihan yang dimaksud," kata dia.

Terakhir, pemerintah juga perlu memikirkan tentang pemulihan kolektif karena yang terkena dampak dari pelanggaran HAM berat tidak hanya korban secara langsung, namun juga masyarakat umum.

"Generasi sekarang yang lahir setelah 1998 belum tentu tau adanya kerusuhan Mei. Nah, itu termasuk pemulihan kolektif yang juga bisa dipikirkan pemerintah melalui mekanisme non-yudusial," ucapnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement