Jumat 16 Jun 2023 17:02 WIB

Komnas HAM Minta Haris-Fatia tak Dihukum Pidana dan Denda

Komnas HAM meminta Haris-Fatia tidak dihukum pidana dan juga denda.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar (kanan) bersama terdakwa Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti (kiri). Komnas HAM meminta Haris-Fatia tidak dihukum pidana dan juga denda.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar (kanan) bersama terdakwa Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti (kiri). Komnas HAM meminta Haris-Fatia tidak dihukum pidana dan juga denda.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) tak menghukum aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dengan sanksi pidana dan denda. Komnas HAM menyarankan agar keduanya diberi hukuman lain yang lebih ringan.

Haris dan Fatia terjerat kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. "Pengadilan harus memprioritaskan penggunaan sanksi di luar sanksi denda maupun sanksi pidana dalam kasus penghinaan, misalnya diberikan hak untuk mengoreksi atau hak untuk menjawab," kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dalam keterangannya pada Jumat (16/6/2023). 

Baca Juga

Atnike menegaskan Haris-Fatia sepatutnya tak dihukum berat dalam perkara ini karena hanya melontarkan kritik kepada Pemerintah. Atnike khawatir hukuman pidana dan denda terhadap keduanya bakal mematikan daya kritis publik terhadap kebijakan pemerintah. 

"Sanksi yang disampaikan secara berlebihan akan menimbulkan dampak meluas yang buruk (chilling effect), dimana warga mengalami ketakutan untuk mengekspresikan pendapatnya terhadap jalannya pemerintahan," ujar Atnike. 

Atnike menyatakan pemidanaan atas mekanisme check and balance terhadap tata kelola pemerintahan merupakan ancaman kebebasan berekspresi. 

"Komnas HAM berpendapat bahwa dalam kasus yang melibatkan hal-hal yang menjadi perhatian publik, dalam hal ini kepentingan umum, maka penggugat atau tergugat harus membuktikan tuduhan fakta yang diduga sebagai pencemaran nama baik," lanjut Atnike. 

Selain itu, Atnike mengingatkan Pemerintah maupun masyarakat perlu mengakui keberadaan pembela HAM beserta peran dan fungsi yang dimilikinya. Apalagi setiap orang berhak berpartisipasi dalam pelindungan, penegakan, dan pemajuan HAM.

Adapun wujud partisipasi pembelaan HAM menurut Atnike seharusnya dimaknai sebagai dukungan terhadap tata kelola dan kebijakan pemerintahan yang lebih baik.

"Keberadaan individu dan organisasi pembela HAM memiliki kontribusi yang penting bagi implementasi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik serta kehidupan demokrasi di Indonesia," ujar Atnike. 

Dalam perkara ini, Haris dan Fatia didakwa mengelabui masyarakat dalam mencemarkan nama Luhut Binsar Pandjaitan. Hal itu disampaikan tim JPU yang dipimpin oleh Yanuar Adi Nugroho saat membacakan surat dakwaan.

Atas dasar itulah, Haris Azhar didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 UU ITE dan Pasal 14 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.

Sedangkan Fatia didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang ITE, Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 KUHP tentang penghinaan.

Kasus ini bermula dari percakapan antara Haris dan Fatia dalam video berjudul "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam" yang diunggah di kanal YouTube Haris Azhar.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement