Selasa 20 Jun 2023 10:47 WIB

Upaya Israel Berangkatkan Jamaah Haji Langsung ke Saudi Kembali Gagal

Arab Saudi hingga kini belum menormalkan hubungan dengan Israel.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Ani Nursalikah
Suasana di sekitar Kabah di dalam Masjidil Haram pada Kamis (1/6/2023) pagi. Sebagian jamaah sedang melaksanakan tawaf dan sebagian lagi melaksanakan sholat sunnah.
Foto: Republika/Fuji Eka Permana
Suasana di sekitar Kabah di dalam Masjidil Haram pada Kamis (1/6/2023) pagi. Sebagian jamaah sedang melaksanakan tawaf dan sebagian lagi melaksanakan sholat sunnah.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Israel secara resmi mengatakan penerbangan langsung ke Arab Saudi untuk haji tidak akan terjadi tahun ini, Senin (19/6/2023). Hal ini sekaligus mengecilkan prospek normalisasi hubungan kedua negara, yang dimediasi AS.

Arab Saudi hingga kini masih belum menormalkan hubungan dengan Israel, meskipun tetangganya UEA dan Bahrain telah menjalin hubungan dengan Tel Aviv pada 2020. Normalisasi tersebut terjadi melalui Abraham Accords yang kontroversial yang ditengahi AS. Riyadh berulang kali menyatakan tidak akan ada hubungan diplomatik, kecuali negara Palestina yang merdeka didirikan.

Baca Juga

Terlepas dari klaim tegas tersebut, pejabat Israel dan AS optimistis Kerajaan Saudi yang menjadi rumah bagi dua situs tersuci Islam membuka izin bagi warga Muslim Palestina-Israel untuk terbang langsung melaksanakan ibadah haji tahun ini. Namun, Riyadh tidak pernah secara resmi menawarkan itu. Muslim menempati porsi 18 persen dari populasi Israel.

Dengan puncak ibadah haji yang semakin dekat, Kementerian Transportasi Israel melaporkan tidak ada maskapai penerbangan yang mendaftar untuk menjalankan penerbangan khusus ke Kerajaan itu. Seorang pembantu utama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengakui hal itu tidak akan terjadi.

"Mungkin untuk haji berikutnya kami akan membantu dalam masalah ini, serta penerbangan (langsung) akan berangkat dari sini. Tapi terlalu dini untuk mengatakannya," kata Penasihat Keamanan Nasional, Tzachi Hanegbi, dikutip di The New Arab, Selasa (20/6/2023).

Potensi normalisasi Israel-Saudi adalah tujuan kebijakan luar negeri utama Netanyahu. Ia mendapatkan kembali kekuasaannya pada Desember lalu, selaku kepala pemerintahan sayap kanan yang digambarkan sebagai yang paling ekstrem dalam 70 tahun sejarah negara itu.

Normalisasi antara Tel Aviv dan Riyadh juga merupakan tujuan dari pemerintahan Biden, yang berusaha memperluas Abraham Accords dan membuat Maroko menjalin hubungan dengan Israel pada 2020.

Hanegbi mengatakan normalisasi adalah sebuah jalan keluar, karena hal itu akan bergantung pada penanganan ketegangan antara Riyadh dan Washington. "Kami berpikiran kesepakatan Saudi-AS adalah pendahulu untuk setiap kesepakatan damai (Israel) dengan Riyadh. Kami menilai bahwa itu tidak akan memiliki peluang besar untuk direalisasikan," kata dia.

Sebuah sumber yang mengetahui masalah tersebut mengatakan Riyadh menginginkan dukungan AS untuk program nuklir sipilnya, dengan imbalan normalisasi dengan Israel. Pada bagiannya, negara ini telah menyuarakan keraguan atas quid-pro-quo semacam itu.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken telah mengunjungi Arab Saudi pada 8 Juni lalu. Ia mengatakan pemerintah akan terus mengerjakan normalisasi dalam beberapa hari, minggu dan bulan ke depan.

Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen mengatakan dia melihat jendela peluang hingga Maret 2024, bagi Washington menangani tuntutan Saudi untuk normalisasi. Hal ini berhubungan dengan pemilihan presiden yang akan dilakukan Amerika Serikat dalam beberapa waktu ke depan.

Normalisasi dengan Israel adalah topik kontroversial di dunia Arab, yang hampir dengan suara bulat dikutuk di wilayah tersebut. Oleh warga Palestina hal ini dianggap sebagai langkah yang menusuk dari belakang, mengingat Israel terus menduduki dan mengepung secara brutal wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement