REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis Pasar Mata Uang Lukman Leong menyatakan, posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang lebih lemah sebesar Rp 15.004 per dolar AS tak mengancam ekonomi Indonesia.
Rupiah mengalami pelemahan pada penutupan perdagangan sebesar 0,07 persen atau 10 poin menjadi Rp 15.004 per dolar AS dari sebelumnya Rp 14.944 per dolar AS dengan pergerakan dari Rp 15.000 per dolar AS hingga Rp 15.057 per dolar AS.
"Volatilitas nilai tukar yang harus dihindari dan itu merupakan mandat BI (Bank Indonesia) menjaga stabilitas nilai tukar," ujar Lukman dilansir Antara di Jakarta, Selasa (20/6/2023).
Menurut dia, China yang menurunkan suku bunga pinjaman sebesar 10 bps tadi pagi dianggap oleh investor masih terlalu kecil. Karena itu, ada harapkan penurunan suku bunga lebih lanjut dan ada stimulus ekonomi yang lebih besar ke depannya.
Penyebab perlambatan ekonomi China karena permintaan domestik dan global yang masih lemah (ekspor dan impor). Pada Ahad (18/6/2023), Goldman Sach disebut menurunkan cukup besar proyeksi pertumbuhan China.
"Sentimen ini bisa bertahan cukup lama, mengingat China adalah ekonomi terbesar di Asia dan kedua di dunia. (Namun), pasar tentunya telah mengantisipasinya, kecuali memburuk. Hal ini akan terus menjadi perhatian investor," ujarnya pula.
Meninjau sentimen dari AS, prospek suku bunga The Fed diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga dua kali masing-masing sebesar 25 bps, sehingga akan membuat rencana BI menurunkan suku bunga tertahan.
"Apabila ini terjadi maka divergensi kebijakan suku bunga antara BI dan The Fed akan menekan rupiah. Tanpa menurunkan suku bunga pun, suku bunga BI akan sama dengan The Fed yang apabila menaikkannya dua kali," kata Lukman.