Oleh : Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika.co.oid
REPUBLIKA.CO.ID, Kabar adanya pungli di rutan KPK menjadi tamparan keras buat lembaga antirasuah itu. Institusi yang sejatinya menjadi corong terdepan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi justru menjadi sarang bagi 'tikus-tikus' yang menggerogoti muruah lembaga tersebut.
Tak tanggung-tanggung nilainya diduga mencapai miliaran rupiah dan melibatkan puluhan pegawai rutan. Praktik pungli ini diduga bermodus pemberian fasilitas yang tidak boleh diterima pihak berperkara di dalam tahanan seperti telepon genggam.
Sebenarnya, praktik tersebut banyak juga ditemukan di rumah tahanan atau lembaga permasyarakatan umum. Para napi membayar sejumlah uang tertentu untuk mendapat fasilitas yang tak bisa diperoleh di tahanan. Sebut saja pengakuan aktor senior Pakusadewo belum lama ini yang membuat heboh publik, bagaiaman HP dan barang-barang terlarang masuk ke rutan.
Hanya saja kali ini, pungli itu terjadi di lembaga yang benar-benar ditujukan sebagai institusi pemberantasan korupsi. Lembaga yang pernah disegani dan paling terpecaya publik. Lembaga yang dengan gagah berani menangkapi para koruptor, menunjukkan para tersangka di hadapan publik. Lembaga yang dengan suara lantang mengingatkan kepada institusi-institusi lain akan pentingnya pencegahan korupsi. Seperti pada Mei lalu, saat KPK memberikan rekomendasi ke Direktorat Jenderal Permasyarakatan Kemenkumham tentang tata kelola pencegahan korupsi.
Ironinya, bukan hanya kasus pungli yang juga disorot KPK. Baru-baru ini kepolisian juga telah menaikkan status penyelidikan ke tahap penyidikan kasus kebocoran dokumen hasil penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM). Hal itu dilakukan setelah penyidik menemukan adanya unsur tindak pidana dalam kasus tersebut.
Sebelum kasus ini, pimpinan KPK juga berulangkali dilaporkan ke Dewas KPK. Seperti perkara Lili Pintauli Siregar yang mundur setelah terbukti melanggar etik. Beragam persoalan ini menunjukkan ada masalah besar di tubuh lembaga antirasuah itu.
Pertama, budaya antikorupsi yang berada di tubuh lembaga itu perlahan mulai pudar. Seorang teman yang dulu pernah bekerja di tubuh KPK bercerita bagaimana budaya itu benar-benar tertanam di lembaga tersebut. Jangan menerima uang, memperoleh makanan dan minuman dari luar saja tidak boleh.
Nilai-nilai antigratifikasi ditanamkan oleh para pegawai dari tingkat pimpinan sampai bawah. Peraturan ditegakkan agar muruah KPK dapat berdiri tegak. Mantan penyidik KPK yang disingkirkan, Novel Baswedan, berulang kali mengkritik kepemimpinan KPK di bawah Firli
"Pejabat/aparatur, mestinya orang yang mempunyai Integritas, adab dan etika yang baik. Karena negara memberikan mandat & kewenangan utk kepentingan negara. Kalo integritas bermasalah, pelanggar etik, bertindak sewenang2, mau jadi apa? Minta diperpanjang pula," kata Novel lewat kicauannya.
Kedua, temuan adanya pungli menunjukkan secara jelas bagaimana proses pengawasan tidak berjalan dengan semestinya. KPK yang sudah tak lagi independen pascarevisi UU KPK, tidak bisa mencegah 'tikus-tikus' yang hidup di lembaga tersebut.
Sejatinya evaluasi sistem dilakukan secara berkala agar virus-virus pungli dan gratifikasi tidak menyebar ke pegawai KPK. Namun alih-alih melakukan perbaikan, salah seorang pimpinan KPK justru meminta tambahan masa jabatan dari empat menjadi lima tahun. Alhasil, jika nanti Kepres keluar, pimpinan KPK era Firli ini akan bercokol hingga 2024 mendatang.
Ketiga, beragam persoalan yang mendera KPK, menunjukkan bahwa faktor pimpinan begitu berpengaruh. Bila pimpinan berulang kali dilaporkan ke Dewas atas beragam persoalan maka, sulit bagi mereka untuk menjadi contoh tauladan. Jika kondisi itu terjadi terus menerus dan diciptakan situasinya menjadi demikian, maka hal ini akan membuat lembaga itu terkubur secara perlahan. Tanpa ada evaluasi besar-besaran, anak kandung Reformasi itu bisa saja lenyap. Jika ini terjadi maka, pemberantasan korupsi berjalan mundur.