Sabtu 01 Jul 2023 19:26 WIB

Retno Marsudi Jadi Pembicara dalam Pertemuan Menlu Perempuan di Mongolia 

Retno pastikan kebijakan lebih ramah terhadap perempuan dalam misi perdamaian PBB.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi telah berpartisipasi dalam Female Foreign Ministers’ Meeting pertama yang digelar di Ulaanbaatar, Mongolia, pada Jumat (29/6/2023).
Foto: AP Photo/Achmad Ibrahim
Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi telah berpartisipasi dalam Female Foreign Ministers’ Meeting pertama yang digelar di Ulaanbaatar, Mongolia, pada Jumat (29/6/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi telah berpartisipasi dalam Female Foreign Ministers’ Meeting pertama yang digelar di Ulaanbaatar, Mongolia, pada Jumat (29/6/2023) lalu. Dia pun menjadi salah satu pembicara pada sesi “Perempuan dalam Memajukan Perdamaian dan Keamanan” atau biasa disebut dengan istilah “Women, Peace, and Security (WPS)”.

Selain Retno, pembicara lain pada sesi tersebut adalah menlu Jerman, Prancis, Afrika Selatan, dan Mongolia. Terdapat empat usulan kerja sama yang didorong Retno untuk memajukan agenda WPS. Pertama adalah meningkatkan partisipasi perempuan dalam preventive diplomacy, proses perdamaian, dan resolusi konflik.

Baca Juga

“Saya sampaikan bahwa Indonesia telah menginisiasi pembentukan Southeast Asia Network of Women Peace Negotiators and Mediators pada tahun 2019. Network ini adalah network yang pertama dan satu-satunya di kawasan Asia Tenggara dan network ini telah jadi bagian dari Global Alliance of Regional Women Mediator Network,” kata Retno dalam keterangan persnya, Sabtu (1/7/2023).

Merespons hal tersebut, Retno mengungkapkan, Organization for Security Cooperation in Europe (OSCE) telah menyambut baik dan menawarkan kerja sama untuk meningkatkan pelatihan serta jejaring kerja untuk para negosiator dan mediator.

Hal kedua yang disampaikan Retno adalah tentang pentingnya meningkatkan partisipasi perempuan dalam pasukan perdamaian PBB. Indonesia menempati posisi kedelapan dalam daftar kontributor terbesar pasukan perdamaian PBB. Menurut Retno jumlah personel penjaga perdamaian perempuan asal Indonesia sudah naik 50 persen dibandingkan lima tahun lalu.

“Saya mengusulkan agar para menlu perempuan dapat memastikan bahwa kebijakan yang lebih ramah terhadap perempuan dalam misi perdamaian PBB penting untuk terus diperjuangkan di dalam forum PBB. Usulan ini ditanggapi dengan sangat baik,” ucap Retno.

Hal ketiga yang Retno sampaikan adalah tentang pemberdayaan ekonomi perempuan dan menebarkan nilai-nilai perdamaian serta toleransi. “Dalam pernyataan saya, saya menyebutkan salah satu contoh sebuah program dari salah satu LSM Indonesia yang disebut ‘Peace Village’. Program ini ditujukan untuk menjadikan perempuan sebagai agen perdamaian dan toleransi sambil memberdayakan perempuan di bidang ekonomi,” katanya.

“Saya sampaikan Indonesia siap untuk sharing pengalaman di bidang ini karena perempuan perlu diberdayakan secara ekonomi dan sekaligus dapat menjadi agen perdamaian dan toleransi,” tambah Retno.

Hal terakhir yang dibahas Retno adalah tentang memastikan akses perempuan terhadap pendidikan dan pekerjaan. Terkait hal itu, Retno menjelaskan tentang upaya yang terus dilakukan Indonesia dalam membantu kaum perempuan di Afghanistan agar dapat memperoleh akses pendidikan serta peran lainnya di masyarakat.

“Saya juga menyampaikan bahwa Desember tahun lalu, Indonesia telah menyelenggarakan International Conference on Afghan Women Education dengan hasil komitmen yang cukup besar untuk mendukung pendidikan bagi perempuan Afghanistan, termasuk tawaran-tawaran untuk beasiswa. Dan untuk tahun ini, konferensi yang kedua akan dituanrumahi oleh Qatar,” ucap Retno.

Pertemuan Female Foreign Ministers’ Meeting diakhiri dengan pleno, kemudian ditutup dengan pernyataan pers. Terdapat empat hal yang disampaikan Retno dalam pleno maupun pernyataan pers. Pertama, komitmen untuk memastikan agenda perempuan masuk dalam agenda global ke depan, termasuk dalam mempersiapkan SDGs Summit dan Summit of the Future.

Kedua, memastikan perempuan memiliki peran dalam membentuk global agenda ke depan, seperti perubahan iklim, energi hijau, dan lainnya. Ketiga perlunya dukungan, termasuk pendanaan dan kapasitas bagi agenda global yang mengarusutamakan kepentingan perempuan. Keempat mendorong kerja sama praktis yang manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh perempuan di seluruh dunia. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement