REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR, H Kamrussamad mengatakan, pembentukan Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) saat ini menunjukkan progres yang lambat. Berdasarkan data yang dimilikinya, pencapaian Satgas BLBI baru mencapai 27,76 persen dari total sekitar dana Rp 110,4 triliun yang ditargetkan.
Karena itu, Kamrussamad mendorong Satgas BLBI pada ujung masa kerjanya untuk bergerak melakukan tindakan tegas dengan menyita semua aset dan menghentikan pelayanan negara kepada tiga turunan penerima langsung kucuran BLBI.
Politikus Partai Gerindra tersebut menilai, Satgas BLBI bertindak standar ganda dalam menangani obligor nakal. Dia menyoroti kinerja Satgas terhadap pemilik Bank Tamara, yang menerima bantuan likuidasi sekitar 25 tahun yang lalu. Namun, hingga kini kedua orang tersebut belum memenuhi kewajibannya kepada negara.
"Jadi, kepada orang yang tidak menerima BLBI, Satgas justru tegas. Tapi, kepada pemilik Bank Tamara yakni Lidia Muchtar dan Atang Latief tindakan Satgas tidak terukur, padahal mereka terima BLBI," tutur Kamrussamad dalam diskusi publik tentang BLBI yang diadakan Indonesian Journalist of Law di Jakarta Selatan, Sabtu (1/7/2023).
Kamrussamad juga menilai, kinerja Satgas BLBI selama masa kerjanya tidak efektif. Buktinya, dalam laporan Satgas BLBI ke Komisi XI DPR, kewajiban obligor yang berhasil ditagih hanya sekitar Rp 30,65 triliun hingga akhir Mei 2023. Realisasi angka tersebut setara dengan 27,75 persen dari target yang ditetapkan sebesar Rp 110,45 triliun.
Karena itu, Kamrussamad mendorong Satgas BLBI pada sisa waktu masa kerjanya untuk segera bergerak cepat melakukan tindakan tegas. Di antaranya, menyita aset-aset para obligor yang belum memenuhi kewajibannya kepada negara. Tindakan tegas lainnya, menurut Kamrussamad, kepada para obligor nakal itu dengan menghentikan pelayanan negara kepada tiga turunan dari penerima langsung BLBI.
"Anak, cucu hingga cicit dari penerima BLBI, lihat dokumennya. Mereka kan punya NPWP, NIK dan dokumen lainnya lalu diumumkan ke publik agar mereka punya good will untuk membayar kewajibannya," ujar Kamrussamad.
Aktivis antikorupsi sekaligus pendiri Lokataru, Haris Azhar sependapat dengan Kamrussamad soal kinerja Satgas BLBI yang tidak efektif. Menurut Haris, para obligor merupakan sekelompok orang pintar yang mempunyai kekuasaan. Hal itu memungkinkan banyak aset milik mereka kini sudah berganti nama.
Haris pun mendorong Satgas BLBI bisa menyita seluruh aset untuk dikembalikan kepada negara. "Satgas BLBI harus memiliki 'koki' yang bisa mencium aset-aset dari obligor yang kemungkinan sudah beralih itu. Kalau tidak, negara akan selalu kalah dengan mereka (para obligor)," kata Haris.
Peneliti Indef Nailul Huda menjelaskan, pemerintah baru berhasil menagih sekitar 26 persen dari tunggakan obligator BLBI sekitar Rp 110 triliun. Hal itu berarti masih ada sekitar Rp 81,6 triliun yang belum tertagih berdasarkan kajian Indef. Kondisi itu berdampak kepada sumbangsih terhadap produk domestik bruto (PDB) yang hilang sekitar Rp 125 triliun.
"Kerugian ekonomi atau PDB kita ketika tidak adanya pembayaran bunga itu dialihkan ke hal-hal yang produktif yang bisa dilakukan pemerintah, maka ada kerugian PDB itu sekitar Rp 122,5 triliun," ujar Huda.
Dia menambahkan, pendapatan masyarakat juga hilang sekitar Rp 124 triliun dan penerimaan pajak tidak langsung hilang sekitar Rp 340 miliar serta tenaga kerja tidak terserap 1,37 juta jiwa. "Sementara dari tunggakan Bank Tamara yang belum disetorkan, dampak ekonominya (PDB) hilang sebesar Rp 594,9 miliar, pendapatan masyarakat Rp 531 miliar, penerimaan pajak tidak langsung Rp 1,4 miliar dan tenaga kerja tidak terserap sekitar 5.820 jiwa," kata Huda.
Pendiri Lokataru sekaligus praktisi hukum Haris Azhar mengamini pendapat Kamrussamad soal kinerja Satgas BLBI yang tidak efektif itu. Menurut Haris, para obligor ini adalah orang-orang pintar dan dekat dengan kekuasaan, sehingga banyak asetnya sudah berganti nama.
"Sebagai pebisnis mereka (obligor) ini lincah, makanya Satgas BLBI harus memiliki 'koki' yang bisa mencium aset-aset obligor yang sudah beralih itu. Kalau tidak, negara akan selalu kalah dengan mereka (obligor)," kata Haris di acara yang sama.