Kamis 06 Jul 2023 18:47 WIB

Daging Hewan Terinfeksi Antraks, Kemenkes: Jangankan Dimakan, Dibuka Saja tidak Boleh

Hewan terinfeksi antraks mudah menyebarkan spora yang berbahaya bagi lingkungan.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Nora Azizah
Bantuan cairan formalin dari pemerintah untuk mensterilisasi lingkungan kandang ternak di Pedukuhan Jati, Semanu, Gunungkidul, Yogyakarta, Kamis (6/7/2023). Warga rutin melakukan sterilisasi kandang ternak usai kasus kematian warga karena mengonsumsi daging sapi  yang mati dan terkena antraks. Menurut Balai Besar Veterinari (BBVet) Wates ada 12 ekor hewan ternak di Dusun Jati yang terkena antraks, enam ekor kambing dan enam ekor sapi. Dari kejadian ini sebanyak 87 warga positif terjangkit antraks dan satu diantaranya meninggal dunia.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Bantuan cairan formalin dari pemerintah untuk mensterilisasi lingkungan kandang ternak di Pedukuhan Jati, Semanu, Gunungkidul, Yogyakarta, Kamis (6/7/2023). Warga rutin melakukan sterilisasi kandang ternak usai kasus kematian warga karena mengonsumsi daging sapi yang mati dan terkena antraks. Menurut Balai Besar Veterinari (BBVet) Wates ada 12 ekor hewan ternak di Dusun Jati yang terkena antraks, enam ekor kambing dan enam ekor sapi. Dari kejadian ini sebanyak 87 warga positif terjangkit antraks dan satu diantaranya meninggal dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementerian Pertanian, Syamsul Ma'arif, mengingatkan bahaya dari hewan yang terinfeksi bakteri B.anthracis yang bersifat zoonosis. Dia mengatakan, hewan terinfeksi antraks tidak boleh dibuka dagingnya, dimasak, ataupun dibedah. Pasalnya, ada kemungkinan spora dari hewan terinfeksi menyebar dan bertahan puluhan tahun di dalam tanah. 

“Jangankan dikonsumsi direbus, dibuka saja nggak boleh. Ketika dia dibuka itu langsung lingkukan terkena spora,” kata Syamsul dalam konferensi pers daring di Jakarta, Kamis (6/7/2023).

Baca Juga

Di lokasi yang sama, Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Nuryani Zaenuddin, mengatakan hal yang sama. Menurut dia, tradisi Brandu atau Purak di Gunungkidul memang memperbolehkan penyembelihan hewan mati untuk dikonsumsi dagingnya dan dibagi-bagikan kepada warga.

“Ini adalah yang paling meningkatkan faktor risiko terjadinya kasus antraks,” kata Nuryani.

Menurut dia, hewan yang mati akibat bakteri B.anthracis yang bersifat zoonosis tidak boleh dikonsumsi bagaimanapun pengolahannya. Ihwal demikian, dia meminta untuk langsung dilakukan pembakaran hewan tersebut.

“Hewan yang mati ini tidak boleh dibedah atau dilukai. Harus dibakar atau dikubur untuk mencegah penularan. Karena saat dibedah, spora (antraks) akan keluar dan masuk ke tanah dan akan melindungi diri hingga puluhan tahun,” kata Nuryani.

Dia menjelaskan, pengendalian antraks di Indonesia memang sudah banyak dilakukan. Namun demikian, karena spora yang bisa melindungi diri di tanah hingga puluhan tahun, beberapa jenis hewan sekitar lebih rentan terjangkit.

“Bahwa hewan rentan adalah Ruminansia atau herbivora (sapi, kambing, domba, kerbau), kuda, babi, hewan liar, kelinci, marmot, mencit. Dan tidak menyerang unggas dan burung kecuali burung unta,” katanya. 

Dia menjelaskan, antraks tidak menyerang hewan berdarah dingin. Menurut dia, di banyak lokasi, penyakit ini disebut sebagai ‘penyakit tanah’ karena spora yang bisa bertahan lama di tanah.

“Gejala klinis pada hewan demam tinggi, ternak gelisah, kesulitan bernapas, kejang, rebah dan mati. Tidak jarang mati mendadak tanpa menunjukkan gejala klinis,” ucapnya.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Imran pambudi, mengatakan, ada empat tipe atau cara penularan antraks ke manusia. “Pertama adalah antraks kulit. Jadi menempel ke kulit, dan nanti masuknya melalui lesi kulit. Di situ nanti akan timbul seperti melepuh,” kata Imran.

Dia menambahkan, tipe antraks kulit merupakan yang paling banyak di Indonesia. Tipe antraks kedua, antraks saluran pencernaan, terjadi saat penderita makan daging dari hewan tertular dan tidak memasak daging tersebut dengan sempurna.

“Akibatnya sama, melepuh tapi di usus sehingga terjadi pendarahan dan meninggal,” jelas dia.

Jenis ketiga, lanjut Imran, tipe paru-paru atau saat bakteri masuk ke dalam inhalasi. Menurut dia, hal ini terjadi ketika spora antraks terhisap melalui partikel pernapasan dan mencapai dinding alveoli.

Terakhir, antraks jenis injeksi yang diklaim baru dan menyerupai antraks kulit. Namun demikian, kebanyakan kasus antraks injeksi dia sebut ditemukan pada pengguna narkotika.

“Dan case fatality rate dari antraks ini bervariasi. Jadi kalau yang kulit, itu antara 25 persen. Untuk pencernaan cukup tinggi dan bervariasi mulai 25-70 persen,” tutur dia.

Paling berbahaya sejauh ini, lanjut Imran, ada di tipe antraks pernapasan paru-paru dengan case fatality rate hingga 80 persen. “Sehingga ini yang membuat penderita tadi itu cepat untuk meninggal,” kata dia.

Imran menjelaskan, khusus tipe paru-paru, partikel akan masuk di paru dan spora berkembang hingga masuk ke otak. Hal itu, bisa menimbulkan risiko meningitis.

“Sehingga ini menjadikan komplikasi yang lebih berat,” kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement