Selasa 11 Jul 2023 13:07 WIB

Knesset Setujui RUU Perubahan Sistem Peradilan Israel

Koalisi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menguasai Knesset dengan 64 dari 120 kursi

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
 Para pengunjuk rasa berkumpul di luar Knesset menjelang protes massal di Yerusalem, Israel,  Senin (27/3/2023). Protes massal telah diadakan di Israel selama 12 minggu menentang rencana pemerintah untuk mereformasi sistem peradilan dan membatasi kekuasaan Mahkamah Agung Israel.
Foto: EPA-EFE/ABIR SULTAN
Para pengunjuk rasa berkumpul di luar Knesset menjelang protes massal di Yerusalem, Israel, Senin (27/3/2023). Protes massal telah diadakan di Israel selama 12 minggu menentang rencana pemerintah untuk mereformasi sistem peradilan dan membatasi kekuasaan Mahkamah Agung Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Parlemen Israel atau Knesset telah memberikan persetujuan awal untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengubah sistem peradilan negara pada Senin (10/7/2023). Salah satu poin yang menarik kontroversi adalah pembatasan beberapa kekuasaan Mahkamah Agung (MA).

Koalisi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menguasai Knesset dengan 64 dari 120 kursi. Mereka berhasil memenangkan suara pertama dari tiga suara yang diperlukan meloloskan RUU baru yang akan ditulis menjadi Undang-Undang (UU).

Baca Juga

Protes terhadap RUU tersebut diperkirakan akan meningkat pada dengan gangguan nasional yang dijanjikan oleh penyelenggara pada Selasa (11/7/2023). RUU itu berupaya membatasi kekuasaan MA untuk membatalkan keputusan yang dibuat oleh pemerintah, menteri, dan pejabat terpilih dengan memutuskannya secara tidak masuk akal.

Kritikus berpendapat bahwa pengawasan yudisial ini membantu mencegah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Para pendukung mengatakan, perubahan itu akan memfasilitasi pemerintahan yang efektif dengan mengekang intervensi pengadilan.

"Ini bukan akhir dari demokrasi, ini memperkuat demokrasi," kata Netanyahu dalam pernyataan video saat Knesset memperdebatkan RUU tersebut.

"Bahkan setelah amandemen, independensi pengadilan dan hak-hak sipil di Israel tidak akan dirugikan dengan cara apa pun. Pengadilan akan terus mengawasi legalitas tindakan dan penunjukan pemerintah," kata Netanyahu.

Pernyataan perdana menteri itu tidak banyak menenangkan lawan. Pengunjuk rasa yang berkumpul di luar MA sebelum berbaris ke parlemen terdengar keras dan jelas di dekat Bank Israel.

Gubernur Bank Israel Amir Yaron mendesak pemerintah untuk mencari kesepakatan luas atas UU reformasi peradilan yang akan menjaga independensi institusional. "Ketidakpastian yang terus berlanjut cenderung memiliki biaya ekonomi yang signifikan," kata Yaron mengutip depresiasi shekel yang berlebihan dan kinerja pasar saham Israel yang buruk.

Netanyahu yang diadili atas tuduhan korupsi justru mengecilkan dampak ekonomi dari kampanye tersebut. Dia mengisyaratkan ketidaksabaran dengan demonstrasi yang kembali berkobar.

Sebelum pemungutan suara Knesset, juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih menegaskan kembali seruan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Dia meminta pemerintah Israel untuk membangun konsensus dan menjaga independensi peradilan.

"Presiden sudah jelas dia berharap pemerintah Israel akan bekerja untuk menemukan kompromi yang tulus," kata juru bicara itu.

Perpecahan atas perombakan telah menembus jauh ke dalam masyarakat Israel. Netanyahu telah menghentikannya untuk pembicaraan kompromi dengan oposisi yang diselenggarakan oleh Presiden Israel Isaac Herzog.

Tapi upaya tersebut gagal pada Juni dan koalisi memulai kembali pembahasan perubahan tersebut. Herzog meminta kedua belah pihak untuk melanjutkan pembicaraan untuk menyelesaikan masalah mendasar yang memisahkan masyarakat Israel.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement