REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Moeldoko membantah proyek Food Estate yang tengah dijalankan pemerintah di berbagai lokasi telah gagal. Ia menegaskan, dibutuhkan waktu agar hasil dari food estate bisa terlihat dan memberikan kontribusi terhadap perbaikan ketahanan pangan.
“Persoalan gagal itu tidak bisa judgement dalam waktu yang dekat. Jangan dinyatakan bahwa itu gagal apalagi food estate yang ada di Kalimantan Selatan, itu memang perlu penanganan khusus,” kata Moeldoko di sela acara Kompas Talks “Ketahanan Pangan Melalui Elektrifikasi Agrikultur di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Ia mencontohkan, seperti proyek food estate di lahan rawa, di mana diperlukan penanganan lebih lanjut untuk memastikan kadar keasaman air sesuai dengan yang dibutuhkan lahan persawahan. Di satu sisi, perlu pengaturan secara tepat ihwal sistem irigasi agar produktivitas tanaman dapat terus bertambah.
Moeldoko menyebut, biasanya hasil signifikan dari proyek food estate baru terlihat ketika minimal telah melalui enam hingga tujuh musim panen. Dalam periode tersebut biasanya, tanaman yang dibudidayakan sudah dapat beradaptasi dengan kondisi lahan sawah setempat.
“Sebab, treatmen awal misalnya kadar keasaman masih tinggi, nanti pelan-pelan turun dan terbangun dengan baik sehingga tanaman akan bertumbuh dengan baik,” ujarnya.
Di proyek food estate, ia mengatakan, petani juga dapat menanam berbagai tanaman meski di lahan yang sama. Ia mencontohkan, proyek Food Estate Keerom, Papua yang membudidayakan jagung di lahan sawit dan menghasilkan produtkvitas hingga enam ton per hektare.
Secara perlahan, produktivitas jagung di sana bakal terus dipacu hingga mencapai angka optimal sekitar sembilan ton hingga 11 ton per hektare atau menyamai di Jawa yang sudah tembus 12 ton per hektare.
“Sementara lahan yang disiapkan di sana itu 10 ribu hektare untuk jagung, yang sudah siap tanam 500 hektare itu akan terus berkembang secara bertahap menuju 2.500 hektare,” katanya.