Jumat 14 Jul 2023 15:58 WIB

Industri Perikanan Keberatan Aturan Baru Devisa Ekspor Ditahan Tiga Bulan

Produsen ikan menyatakan keberatan terhadap aturan devisa hasil ekspor.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ahmad Fikri Noor
Nelayan menurunkan ikan tuna sirip kuning dari perahu di pasar ikan tradisional Lampulo di Banda Aceh, Aceh, beberapa waktu lalu.
Foto: EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK
Nelayan menurunkan ikan tuna sirip kuning dari perahu di pasar ikan tradisional Lampulo di Banda Aceh, Aceh, beberapa waktu lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Asosiasi Produsen Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) menyatakan keberatan terhadap aturan baru pemerintah soal devisa hasil ekspor (DHE). Aturan baru tersebut dinilai dapat menghambat kinerja ekspor perikanan Indonesia dan berdampak masif terhadap nelayan di Tanah Air. 

Aturan tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam. Adapun beleid itu berlaku untuk sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. 

Baca Juga

Pada pasal 7 ayat 1 dan 2 beleid tersebut dijelaskan, DHE SDA yang telah dimasukkan dan ditempatkan eksportir ke rekening khusus DHE SDA wajib tetap ditempatkan paling sedikit 30 persen dalam sistem keuangan Indonesia paling singkat tiga bulan sejak penempatan devisa ke rekening khusus. 

Ketua Umum AP5I Budhi Wibowo menyampaikan, poin tersebut menjadi inti permasalahan yang dikhawatirkan pelaku industri perikanan. Hal ini terutama mereka yang berorientasi ekspor. Terlebih, 95 persen anggota AP5I merupakan eksportir produk olahan ikan dari Indonesia ke mancanegara. 

Ia mengatakan, kebijakan tersebut dipastikan bakal mengganggu arus kas para eksportir. Pasalnya, sesuai aturan tersebut, DHE harus ditempatkan di sistem keuangan Indonesia atau dengan kata lain tak bisa langsung kembali digunakan sebagai modal kerja.  

Alhasil, pelaku usaha yang semestinya menggunakan pendapatannya untuk produksi selanjutnya ikut terhambat. 

“Kalau 30 persen ditahan, perputaran kami akan berkurang 30 persen. Kalau tiga bulan, berkurang 90 persen. Ini bunuh diri, karena kami tidak punya untuk beli ikan lagi, yang pasti itu akan berkurang dan ekspor akan ikut berkurang,” kata Budhi kepada Republika, Jumat (14/7/2023).

Budhi mengatakan, eksportir produk olahan ikan tak masalah bila harus menempatkan DHE ke rekening khusus. Namun, yang menjadi titik persoalan yakni besaran 30 persen yang harus disimpan selama tiga bulan. 

Alih-alih pemerintah ingin meningkatkan devisa, Budhi menilai, beleid tersebut justru bisa berdampak buruk pada kinerja ekspor perikanan. Di sisi lain, keuntungan ekspor olahan ikan per tahun tak lebih dari dua digit. Adapun sepanjang 2022 lalu, total nilai ekspor perikanan sebesar 6,2 miliar dolar AS. 

Tak hanya berdampak pada kinerja ekspor, nelayan sebagai penyuplai ikan pun bakal terimbas. Sebab, karena arus kas yang terganggu turut mempengaruhi daya serap hasil tangkapan ikan dari para nelayan. 

“Saya ingatkan pemerintah, ini efeknya bukan pada eksportir saja, tapi hulu-hilir. Kasihan nelayan juga,” katanya. 

Pihaknya pun menyesalkan, lantaran sosialisasi PP tersebut yang dilakukan pada 27 Juni 2023 lalu tak mengundang asosiasi perikanan. AP5I mengusulkan agar DHE yang harus masuk ke sistem keuangan Indonesia tetap dapat diperbolehkan untuk digunakan demi meminimalisais dampak negatif terhadap kegiatan ekspor.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement