REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Australia dan Inggris bergabung dengan beberapa negara lain yang mendesak Rusia untuk kembali ke kesepakatan biji-bijian Laut Hitam.
"Keputusan Rusia untuk menghentikan Prakarsa Biji-Bijian Laut Hitam akan merugikan mereka yang paling membutuhkan," kata Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong di Twitter.
Menurut dia, kesepakatan biji-bijian penting untuk memastikan pasokan makanan yang dapat diprediksi, termasuk untuk negara-negara di Indo-Pasifik dan Afrika.
"Kami meminta Rusia untuk kembali ke meja perundingan. Australia tetap berkomitmen untuk bekerja sama dengan para mitra untuk membangun ketahanan pangan jangka panjang mereka," tulis Wong.
Sementara itu, Inggris mengecam keras keputusan Rusia yang menarik diri dari Prakarsa Biji-Bijian Laut Hitam.
Menlu Inggris James Cleverly mengatakan perang telah menghalangi kebebasan pengiriman biji-bijian dan bahan pangan lainnya melalui Laut Hitam, hingga menyebabkan penderitaan di seluruh dunia.
"Kami mendesak Rusia untuk bergabung kembali dengan prakarsa, yang dikembangkan oleh PBB pada 2022, dan mengizinkan ekspor biji-bijian tanpa hambatan. Sejak awal, prakarsa ini telah memainkan peran penting dalam menurunkan dan menstabilkan harga pangan dunia, mengirimkan lebih dari 32 juta ton produk pangan ke pasar dunia," kata Cleverly.
Kesepakatan itu ditandatangani oleh Rusia, Ukraina, PBB, dan Turki tahun lalu dengan tujuan melanjutkan kembali ekspor biji-bijian dari tiga pelabuhan Ukraina di Laut Hitam.
Kegiatan ekspor biji-bijian dari pelabuhan-pelabuhan Ukraina sempat terhenti sejak Rusia melancarkan perangnya di Ukraina pada Februari 2022.
Di bawah kesepakatan tersebut, Pusat Koordinasi Bersama didirikan di Istanbul tahun lalu dengan pejabat dari tiga negara dan PBB untuk mengawasi pengiriman pangan.
Kesepakatan itu telah diperbarui beberapa kali sejak itu, dan terakhir kali diperpanjang selama dua bulan pada 18 Mei 2023.
"Rusia telah menghalangi operasi dari kesepakatan itu selama beberapa bulan. Dengan melakukan itu, Rusia melayani kepentingannya sendiri dan mengabaikan kebutuhan semua orang di seluruh dunia, termasuk di negara-negara termiskin, yang akibatnya harus membayar harga pangan lebih tinggi," kata Cleverly.