REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, masyarakat tentu ingin melihat proses penanganan yang transparan terhadap kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Basarnas atau Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP). Ia pun kembali menyinggung kasus pengadaan helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101 di lingkungan TNI Angkatan Udara.
Diketahui, saat itu banyak pihak yang menilai kasus tersebut terbilang janggal karena hanya pemberi suap yang diganjar hukuman pidana. Kasus heli AW-101 hanya terbukti dilakukan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) John Irfan Kenway, padahal kalau Irfan berstatus pemberi suap, maka semestinya ada penerima suap yang dihukum.
"Kami di DPR dan terlebih lagi masyarakat ingin melihat proses hukum yang benar secara prosedural dan akuntabel. Dari sisi materi kasus tipikornya, serta ada aspek transparan untuk dinilai bersama, termasuk oleh publik," ujar Arsul kepada wartawan, Ahad (30/7/2023).
"Jangan sampai terjadi lagi seperti pada kasus tipikor Helikopter AW-10, di mana orang sipilnya diproses hukum dan dipidana penjara plus denda. Namun tidak demikian dengan perwira TNI yang diduga terlibat," kata dia menambahkan.
Ia sendiri meminta agar permintaan maaf dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak perlu menjadi polemik. Saat ini, KPK dan TNI sebaiknya fokus terhadap proses hukum yang dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
"Saatnya KPK dan TNI menunjukkan kepada rakyat bahwa ada paralelitas dan sinkronisitas dalam proses hukum terhadap tersangka warga sipil dan perwira TNI aktif yang diduga terlibat dalam tipikor tersebut," ujar Arsul.
Usulnya, kedua lembaga tersebut membentuk tim konektivitas untuk melakukan proses hukum terhadap dua perwira TNI aktif tersebut. Di samping KPK yang juga terus merampungkan penyidikannya atas para tersangka yang merupakan warga sipil.
"Paralelnya adalah dengan membentuk tim koneksitas, di mana memproses tersangka sipil tentu titik berat pada KPK dan tersangka perwira aktif TNI titik berat pada POM TNI," ujar Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Dua prajurit aktif TNI baru saja ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi oleh KPK terkait pengadaan barang dan jasa di Basarnas. Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda TNI Kresno Buntoro memastikan tidak ada prajurit kebal hukum.
Walaupun demikian, kata Kababinkum TNI, penanganan kasus dan penindakan terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota TNI aktif harus dilakukan oleh perangkat hukum militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Oleh karena itu, lanjut dia, untuk setiap tindak pidana yang dilakukan oleh militer, prajurit aktif itu tunduk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Selain itu, juga tunduk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
"Jadi, pada intinya tidak ada prajurit TNI yang kebal hukum, semua tunduk pada aturan hukum," ujar Laksamana Muda TNI Kresno Buntoro, Jumat (28/7/2023).
Terkait penanganan korupsi, dia menjelaskan ada batas kewenangan yang jelas, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memproses warga sipil, sementara anggota TNI aktif diperiksa oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. Puspom, dalam penanganan kasus itu, bertindak sebagai penyidik, kemudian berkasnya jika lengkap dilimpahkan ke Oditur Militer yang berfungsi sebagaimana jaksa dalam sistem peradilan umum.
"Selanjutnya, melalui persidangan, dan Anda tahu semua, di peradilan militer itu, itu sudah langsung di bawah teknis yudisialnya Mahkamah Agung. Jadi, tidak ada yang bisa lepas dari itu," ujar Kresno Buntoro.