Ketika pasukan Inggris tiba di Malaka pada 1 Juni 1811, di Yogyakarta, Diponegoro mendengar isu Sultan Sepuh (Sri Sultan Hamengkubunowo II) akan mengangkat Mangkuningrat menjadi pewaris takhta. Adik Pangeran Wali itu akan menggantikan posisi Pangeran Wali sebagai putra mahkota.
Tindakan Sultan Sepuh itu, menurut Diponegoro, atas pengaruh dua istri Sultan Sepuh, sekaligus sebagai alat penekan kepada Pangeran Wali. Sultan Sepuh tdak setuju pada langkah Pangeran Wali yang akan memberikan tanah kepada para bupati yang baru diangkatnya.
Pada 4 Agustus 1811, pukul dua siang, pasukan Inggris mendarat di Cilincing, 12 kilometer di sebelah timur Batavia. Menjelang petang, baru pasukan infanteri yang tuntas sudah mendarat. Kuda kavaleri dan pasukan kavaleri baru mendarat esok harinya. Angin mengombang-ambingkan poerahu-perahu kecil yang akan bergabung di titik pertemuan, sehingga formasi pendaratan yang direncanakan di India tidak tercapai.
Praktis memerlukan waktu selama 24 jam untuk pendaratan pasukan berjumlah 11.960 prajurit itu. Tentara Inggris berjumlah 5.344, tentara India berjumlah 5.777, dan laskar perintis berjumlah 839 orang.
Pasukan tentara Inggris dipimpin 200 perwira Inggris, pasukan tentara India dipimpin 124 perwira Inggris dan 123 perwira India. Thomas Stamford Raffles yang berusia 30 tahun memimpin pasukan ini. Diponegoro berusia 26 tahun.
Sejak kecil ia tinggal di luar keraton. Petika pada usia 26 tahun kebali ke keraton, Diponegoro melihat tatanan keraton telah rusak akibat campur tangan Belanda.
Pada 6 Agustus pasukan bergerak mengendap-endap ke Batavia dan pada 8 Agustus 1811 sudah masuk Batavia secara diam-diam pada malam hari. Perlu dua hari perjalanan untu mencapai Batavia dari Cilincing. Kondisi geografis Cilincing yang penuh rintangan alam ternyata tidak menjadi daerah patroli tentara Belanda, sehingga tentara Inggris ini bisa mendarat tanpa gangguan patrol Belanda.
Penyerbuan Batavia dimulai pada 10 Agustus 1811 mulai pukul empat pagi. Penduduk Eropa di Batavia sudah banyak yang meninggalkan Batavia. Mengetahui hal itu, penduduk Jawa, Sunda dan Melayu menyerbu gudang kopi milik pemerintah yang sudah tidak terkunci. Mereka buang biji kopi ke jalanan dan pergi membawa barang jarahan dengan kain.
Pasukan Inggris masih sempat berpapasan dengan beberapar pribumi yang menjarah gudang ini. Gemeterak biji-biji kopi yang bertebaran di jalan terdengar ketika terinjak sepatu tentara Inggris.
Setelah menguasai Batavia, Raffles menginginkan penaklukan Jawa. Maka, pada 19-20 Juni 1812, pasukan Inggris menyerbu Keraton Yogyakarta. Keraton dikepung dan meriam ditembakkan. Diponegoro melihat Sultan Hamengkubuwono II diseret tentara Inggris. Pada saat penyerbuan itu, Diponegoro juga melihat perlakukan tentara India yang begitu beringas terhadap perempuan. Melihat pula kerabatnya sujud di kaki pemuda Inggris John Crawfurd, yang hanya bis aberbicara bahasa Melayu pasar. Crawfurd kemudian diangkat menjadi Residen Yogyakarta oleh Rafles.
Diponegoro marah dengan hal itu semua. Kegeramannya pada Inggris ia tunjukkan dengan mengatakan bahwa bahasa Melayu yang mereka gunakan itu sebagai bahasa ayam. Bahasa yang tidak ada sopan-santunnya ketika menghadapi bangsawan-bangsawan Jawa.
Pangeran Wali dan anak sulungnya, Diponegoro, dipandu oleh Panular mencoba menyelamatkan diri. Upaya penyelamatan diri ini mendapatkan halangan dari Pangeran Joyokusumo yang membuat Diponegoro mengunus kerisnya dan hampir memunculkan pertikaian. Kemarahan pada masa transisi pemerintahan Belanda-Inggris ini ikut memicu Diponegoro memimpin perlawanan pada 1825-1830. Maka, ketika Perang Jawa berlangsung, orang-orang Belanda yang ditangkap dipaksa belajar bahasa Jawa.
Sekitar 1805, Dipoengoro mendapat bisikan di pantai selatan bahwa tiga tahun ke depan Yogyakarta akan mengalami kehancuran yang akan meruntuhkan Tanah Jawa. Bisikan itu juga menyebut, ketika Yogyakarta dalam masalah Diponegoro harus memimpin segenap pasukan merebeut kembali Yogyakarta.
Tiga tahun kemudian, Daendels berkuasa dan membuka orde baru kehidupan keraton, sehingga memunculkan pemberontakan dari Pangeran Ronggo. Perubahan di keraton yang belum tuntas setelah pemberontakan Ronggo dipadamkan, masuk kemudian Inggris.
Raffres pada 1812 mengangkat Pangeran Wali Sri Sultan Hamengkubuwono III. Meninggal pada 1814, diangkatkan putra mahkota yang baru berusia 10 tahun menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono IV. Diponegoro juga marah ketika Crawfurd yang dobel kafir --Jawa bukan, Muslim bukan-- memandu pernikahan Sri Sultan Hamengkubuwono IV yang masih kanak-kanak itu pada 1816.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Babad Diponegara karya Pangeran Diponegoro
Inggris di Jawa karya Peter Carey
Kuasa Ramalan karya Peter Carey
Raffles and The British Invasion of Java karya Tim Hannigan
Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) karya Peter Carey
The Conquest of Java, Nineteenth-century seen through the eyes of a soldier of the British Empire karya Major William Thorn