REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada akhir tahun 1880, dapat dikatakan bahwa daerah yang disebut Aceh Lhee Sagoe yaitu Kabupaten Aceh Besar dan Kotamadya Banda Aceh sekarang, telah jatuh ke tangan Belanda. Kecuali daerah pegunungan Seulawah yang dijadikan sebagai tempat persembunyian para pejuang Aceh.
Para pejuang Aceh yang bersembunyi di sekitar gunung Seulawah terus memikirkan solusi dalam menghadapi Belanda yang telah berhasil menguasai Aceh Besar. Untuk itu, mereka melakukan pertemuan yang membahas langkah-langkah yang harus diambil berkaitan dengan keadaan menghadapi penjajah Belanda pada waktu itu.
Pertemuan itu dilaksanakan di gunung Biram dekat Lamtamot, sekitar 10 km dari Seulimum. Sesudah bertukar pikiran secara panjang lebar, akhirnya mereka berkesimpulan bahwa perjuangan melawan penjajah perlu dilanjutkan.
Untuk itu, harus diupayakan bantuan dari luar Aceh Besar. Bantuan itu harus diminta melalui para ulama, karena ulamalah yang mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat pada waktu itu. Terlebih dalam menghadapi penjajah Belanda yang kafir dan punya kekuatan besar.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan tersebut, maka putuskanlah beberapa orang ke daerah Pidie untuk menemui para ulama. Utusan gunung Biram itu berangkat melalui bukit Barisan di pinggir gunung Seulawah untuk menghindari dari penglihatan mata-mata penjajah Belanda.
Setelah tiba di Pidie, utusan itu dengan sangat hati-hati mencari informasi mengenai keberadaan ulama terkemuka. Sesudah beberapa lama mencari, akhirnya mereka mendengar bahwa pusat pimpinan ulama di Pidie adalah di Tiro. Seluruh uleebalang dan ulama di Pidie menaruh hormat kepada ulama Tiro yang sangat terkenal yaitu Teungku Chik Di Tiro. Sebab Tiro pada waktu itu sebagai pusat pendidikan Islam.
Ulama yang sangat terkemuka sebagaimana yang diharapkan oleh utusan pejuang dari Aceh Besar itu adalah Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman, atau sering juga disebut dengan Teungku Chik Dayah Cut.