Ahad 20 Aug 2023 16:11 WIB

Rusia Tegaskan Senjata Nuklirnya untuk Defensif

Perkembangan di Ukraina memvalidasi kekhawatiran Rusia terkait ancaman keamanan

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Sebuah gambar yang diambil selama kunjungan ke Enerhodar yang diselenggarakan oleh militer Rusia menunjukkan penyimpanan kering bahan bakar nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Zaporizhzhia (ZNPP) di Enerhodar, Ukraina tenggara, Rabu (29/3/2023).
Foto: EPA-EFE/SERGEI ILNITSKY
Sebuah gambar yang diambil selama kunjungan ke Enerhodar yang diselenggarakan oleh militer Rusia menunjukkan penyimpanan kering bahan bakar nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Zaporizhzhia (ZNPP) di Enerhodar, Ukraina tenggara, Rabu (29/3/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov merespons tentang banyaknya pihak yang mengomentari peran senjata nuklir dalam kebijakan luar negeri negaranya. Dia menekankan bahwa doktrin penggunaan senjata tersebut bersifat defensif.

“Memang, banyak yang telah dikatakan baru-baru ini tentang peran senjata nuklir dalam kebijakan luar negeri Rusia. Saya ingin mengingatkan Anda bahwa kondisi untuk kemungkinan penggunaannya di pihak kami ditetapkan dalam dokumen doktrinal,” kata Lavrov dalam sebuah wawancara dengan jurnal International Affairs, dikutip laman kantor berita Rusia, TASS, Sabtu (19/8/2023).

Baca Juga

Dia menambahkan, penting untuk dipahami bahwa kebijakan Rusia di bidang pencegahan nuklir secara eksklusif bersifat defensif. “Ini ditujukan untuk menjaga potensi kekuatan nuklir pada tingkat minimum yang diperlukan untuk menjamin pertahanan kedaulatan serta keutuhan wilayah negara, mencegah agresi terhadap Rusia dan sekutunya,” ucapnya.

“Dalam konteks pencegahan, kepemilikan senjata nuklir saat ini merupakan satu-satunya tanggapan yang mungkin terhadap beberapa ancaman eksternal yang signifikan terhadap keamanan negara kami,” ujar Lavrov menambahkan.

Lavrov mencatat, perkembangan situasi di sekitar Ukraina memvalidasi kekhawatiran Rusia terkait ancaman keamanan terhadapnya. “Setelah secara terang-terangan melanggar prinsip keamanan yang tidak terpisahkan, NATO, sebuah organisasi yang, izinkan saya mengingatkan Anda, menyatakan dirinya sebagai aliansi nuklir, bertaruh pada 'kekalahan strategis' Rusia. Reaksi paksa kami untuk melindungi kontur keamanan eksternal kami digunakan oleh 'kolektif Barat' sebagai dalih untuk bergerak ke konfrontasi sengit menggunakan berbagai cara," katanya.

Dia mengingatkan, bahaya besar terkait konflik di Ukraina adalah bahwa dengan meningkatkan situasi, Amerika Serikat (AS) dan negara anggota NATO berisiko berada dalam situasi bentrokan bersenjata langsung antara kekuatan nuklir. "Kami percaya bahwa perkembangan peristiwa seperti itu harus dan dapat dicegah. Itulah mengapa kami harus mengingatkan adanya risiko militer-politik yang tinggi dan mengirimkan sinyal serius kepada lawan kami," ungkap Lavrov.

Menurut Arms Control Association, saat ini Rusia menjadi negara yang paling banyak memiliki hulu ledak nuklir, yakni sekitar 5.889. AS menyusul di posisi kedua dengan 5.244. Negara lainnya yang memiliki hulu ledak nuklir adalah Prancis (290), Inggris (225), Cina (410), Korea Utara (30), India (164), Pakistan (170), dan Israel (90).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement