Kamis 31 Aug 2023 00:30 WIB

Ini Akibatnya Jika Makin Sering Terkena Polusi Udara

Biasakan diri selalu memantau kualitas udara sebelum memutuskan untuk keluar rumah.

Red: Natalia Endah Hapsari
Tenaga kesehatan memeriksa warga penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di Puskesmas Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Senin (29/8/2023). Data penderita ISPA di Jakarta  imbas kualitas udara yang buruk mengalami lonjakan. Menurut kementerian kesehatan bahwa pasien ISPA di Jakarta mencapai 200 ribu orang, padahal sebelum andemi Covid 19 hanya 50 ribu pasien.  Mengutip data IQAir polusi udara menyebabkan 8.100 kematian di Jakarta selama 2023 serta membawa kerugian sekitar Rp 32,09 triliun.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Tenaga kesehatan memeriksa warga penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di Puskesmas Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Senin (29/8/2023). Data penderita ISPA di Jakarta imbas kualitas udara yang buruk mengalami lonjakan. Menurut kementerian kesehatan bahwa pasien ISPA di Jakarta mencapai 200 ribu orang, padahal sebelum andemi Covid 19 hanya 50 ribu pasien. Mengutip data IQAir polusi udara menyebabkan 8.100 kematian di Jakarta selama 2023 serta membawa kerugian sekitar Rp 32,09 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Pakar paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Dr dr Erlina Burhan, M.Sc, Sp.P(K) mengingatkan bahwa durasi paparan polusi udara memengaruhi dampak pada tubuh sehingga sebaiknya masyarakat membatasi keluar rumah saat polusi.

"Kalau terpaksa harus keluar rumah walau monitoring menunjukkan merah atau ungu, sebentar saja karena durasi paparan memengaruhi dampak yang terjadi," ujar dia dalam webinar media "Sadari, Siaga, Solusi Terhadap Mutasi Virus Pada Masa Endemi Covid-19", Rabu (30/8/2023).

Baca Juga

Erlina mengatakan orang-orang perlu membiasakan diri selalu memantau kualitas udara sebelum memutuskan untuk keluar rumah. Kemudian berbicara upaya melindungi diri dari dampak polusi yang bisa mengenai berbagai organ tubuh termasuk paru dan jantung, dia menyarankan masyarakat tetap menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), juga mengenakan masker agar polutan tidak terhirup. "Apalagi kalau kita tahu dari data yang cukup tinggi PM 2.5 yang ukurannya sangat kecil mungkin dianjurkan pakai masker respirator atau N95," ujar dia.

Menurut Erlina, dengan memakai masker maka diharapkan masyarakat bisa mencegah dampak buruk polusi sekaligus COVID-19 yang kini sudah menjadi endemi. "Alhamdulillah Covid-19 terkendali tetapi tetaplah PHBS, dengan adanya polusi udara kita kembali lagi pakai masker kan sudah terbiasa tiga tahun pakai masker. Sekarang orang senang pakai masker, kelihatan lebih muda," kata dia.

Dalam webinar yang sama, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof drh Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., PhD, berbicara tentang masker yang bisa masyarakat pakai sama saja dengan saat pandemi Covid-19.

Menurut dia, masker yang selama ini orang-orang kenakan guna menyaring virus SARS-CoV-2 yang ukurannya lebih kecil dari polutan atau partikel pencemaran udara sehingga bisa juga digunakan saat polusi terjadi. "Pakai masker saja dan kalau di rumah pastikan debu dan lainnya tidak boleh ada supaya kita selalu terjaga sehat di mana kita berada," tutur dia.

Wiku menambahkan, berbicara dampak, berbeda dengan Covid-19 yang efeknya bisa cepat sekali sehingga menyebabkan seseorang sakit, dampak pencemaran udara relatif lebih lama karena polutan perlu masuk ke sirkulasi darah dulu dalam jumlah banyak atau dengan kata lain efeknya jangka panjang.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement