REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, (Menko-PMK) Muhadjir Effendy, belum lama ini berpendapat reog Ponorogo layak dijadikan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia (WBTB) oleh UNESCO. Sebab, paguyuban reog Ponorogo tersebar di berbagai daerah dan negara sehingga dianggap telah mendunia.
Terkait hal itu, budayawan sekaligus praktisi reog Ponorogo, Hariadi, menilai perlu atau tidaknya penetapan sebagai WBTB UNESCO tergantung pada sudut pandang masing-masing. "Kemudian apakah UNESCO sangat diperlukan? Ya, perlu. Itu legal standing internasional," kata Hariadi kepada Republika.co.id, belum lama ini.
Jika sudah dilegalkan secara internasional, maka tidak ada akan terjadi lagi saling klaim. Ini berarti tinggal arah perkembangan yang akan dilakukan negara yang mengajukan legalisasi reog Ponorogo sebagai WBTB. Jika tidak dikembangkan dengan baik, legalitas UNESCO itu tidak ada gunanya.
Menurut Hariadi, penetapan reog Ponorogo sebagai WBTB UNESCO berarti peran masyarakat Ponorogo diperlukan untuk melestarikan kesenian tersebut. Sebab, hal ini menjadi tanggung jawab tersendiri bagi apapun yang telah ditetapkan oleh UNESCO.
Di satu sisi, kehidupan perkembangan kesenian itu pada dasarnya tergantung masih diminati masyarakat atau tidak. Sebab, dia meyakini selalu terdapat transaksi dalam sebuah kesenian.
"Misal, Anda mengatakan karya saya baik tetapi kalau tidak ada diapresiasi dan tidak ada transaksi, ya bohong juga," jelas pria berusia 61 tahun ini.
Hal yang pasti, kata dia, Indonesia harus mampu mem-branding reog Ponorogo, baik dari sisi nasional maupun internasional apabila diakui oleh UNESCO. Sebab itu, dia menilai perguruan tinggi memiliki peran besar dalam hal tersebut.
Sebagaimana diketahui, proses pembentukan masyarakat itu dimulai dari TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi kemudian kembali ke masyarakat. Menurut Hariadi, keberadaan seni sebenarnya menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan.
Jika masyarakat tidak terdidik, konteks kebudayaan bisa putus. Oleh karena itu, dia sangat menyambut baik keberadaan reog Ponorogo di Universitas Brawijaya (UB) dan Universitas Negeri Jember (Unej) yang sudah diakui secara nasional.
"Di UB misalnya, itu kan dari fakultas beda-beda. Kalau dari beda-beda digodok di UB, kemudian jadi duta wisata di internasional, itu nanti setelah lulus jiwa seni sudah nempel. Kalau nempel, mesti di manapun nanti, akan menghidupi kesenian itu sendiri setelah mereka jadi masyarakat. Jadi tanpa peran perguruan tinggi, itu bohong. Hanya ngomong tok karena masyarakat itu cerminan atau produk perguruan tinggi," jelasnya.
Hariadi pun mendorong pemerintah melalui instansi pendidikan untuk dapat menyatu dan mencari solusi bagaimana reog Ponorogo bisa tetap eksis dan berkarya. Sebab dari sini, kesenian dapat mencapai tahap transaksi seperti yang dialami tim Reyog Brawijaya. Tim reog UB ini diketahui telah menjuarai festival tingkat nasional untuk kemudian tampil di Thailand dalam beberapa waktu ke depan.