REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menginginkan para migran Eritrea yang terlibat dalam bentrokan kekerasan di Tel Aviv segera dideportasi. Dia telah memerintahkan untuk mengusir semua migran Afrika dari Israel.
“Kami menginginkan tindakan keras terhadap para perusuh, termasuk deportasi segera mereka yang ambil bagian,” kata Netanyahu dalam pertemuan khusus tingkat menteri yang diadakan untuk menangani dampak kekerasan tersebut, Ahad (3/9/2023).
Netanyahu meminta agar para menteri menyampaikan kepadanya rencana untuk memberantas semua penyusup ilegal lainnya. Pernyataan tersebut muncul sehari setelah protes berdarah yang dilakukan oleh kelompok Eritrea di selatan Tel Aviv yang menyebabkan puluhan orang terluka. Pendukung dan penentang pemerintah Eritrea saling berhadapan dengan kayu konstruksi, potongan logam dan batu, pecahan jendela toko dan mobil polisi.
Polisi Israel dengan perlengkapan antihuru-hara menembakkan gas air mata, granat kejut, dan peluru tajam. Sementara petugas yang menunggang kuda berusaha mengendalikan para pengunjuk rasa.
Kekerasan kembali terjadi terkait dengan isu migran pada Sabtu (2/9/2023). Isu yang telah lama memecah belah Israel ini kembali muncul setelah ketidaksetujuan dengan rencana perombakan peradilan Netanyahu.
Para pendukung menyebut masalah migran sebagai alasan pengadilan harus mengekang. Mereka menyatakan, penolakan menghalangi upaya mengusir para migran.
Netanyahu menyatakan, Mahkamah Agung membatalkan beberapa tindakan yang dimaksudkan untuk memaksa para migran untuk pergi. Berdasarkan hukum internasional, Israel tidak dapat secara paksa mengirim migran kembali ke negara asal dengan kehidupan atau kebebasannya mungkin terancam. Namun, Netanyahu mengatakan, tidak merasa mendeportasi pendukung pemerintah Eritrea akan menjadi masalah.
Sekitar 25 ribu migran Afrika tinggal di Israel, terutama dari Sudan dan Eritrea. Mereka melarikan diri dari konflik atau penindasan.
Israel hanya mengakui sedikit sekali pencari suaka....