REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Dalam Islam, suami diberikan kewenangan untuk menjatuhkan talak kepada istri. Namun demikian bagi suami yang masih bimbang, terdapat anjuran untuk tidak menggantung status istri terlalu lama.
Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 226-227 berfirman, “Lillaziina yu'luuna min nisaaa'ihim tarabbusu arba'ati ashhurin fain faaa'uu fa innal laaha Ghafuurur Rahiim. Wa in 'azamut talaaqa fa innal laaha Samii'un 'Aliim.”
Yang artinya, “Bagi orang yang meng-ila' istrinya harus menunggu empat bulan. Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Prof Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al Mishbah menjelaskan mengenai tafsir dari kedua ayat tersebut. Beliau menyebut, para suami dalam masyarakat jahiliyah seringkali bersumpah tidak akan melakukan hubungan seks dengan istri-istri mereka, dalam waktu tertentu. Seringkali waktu yang mereka tetapkan sebelumnya, mereka perpanjang lagi dengan sumpah baru.
Sehingga hidup sang istri terkatung-katung. Ia tidak dicerai agar tidak dapat kawin dengan lelaki lain, dan dalam saat yang sama ia tidak memperoleh hak-haknya secara penuh. Adapun ila adalah sumpah yang dilakukan oleh suami, baik dalam keadaan marah maupun tidak, untuk tidak melakukan hubungan seks dengan istri mereka.
Ayat ini, menurut Prof Quraish, memberi kesempatan kepada para suami untuk berpikirselama empat bulan untuk mengambil keputusan tegas. Yakni kembali hidup sebagai suami istri yang normal atau menceraikan istrinya.
Jika mereka memutuskan untuk kembali sebagai suami istri, hidup secara harmonis, dan saling memaafkan, maka Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahan mereka dan akan mencurahkan rahmat-Nya. Sebab sesunggunya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan bila mereka menetapkan hati tanpa ada keraguan, maka mereka wajib mengambil keputusan yang pasti, yakni bercerai. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat ini ditutup dengan kedua sifat Allah tersebut, bukan saja untuk menegaskan bahwa Allah Maha Mendengar ucapan suami serta Maha Mengetahui niatnya, tetapi juga mengisyaratkan bahwa talak atau perceraian yang sah memerlukan ucapan yang jelas serta terdengar, dan pengetahuan yang mantap.
Penantian empat bulan yang dituntut dari suami ini, seimbang dengan masa tunggu yang diwajibkan kepada para istri yang suaminya meninggal. Yang bilangannya juga sebanyak empat bulan 40 hari. Sedangkan para ulama menilai, masa empat bulan itu sebagai masa yang wajar bagi seorang istri atau suami yang normal untuk tidak berhubungan intim.
Menurut Prof Quraish, persoalan ini dapat berbeda antara seseorang dengan yang lain. Ada yang tidak dapat bertahan selama itu, dan ada juga yang dapat melebihinya.