REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima permohonan uji materi partai buruh mengenai syarat ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold pada Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Walau demikian, dua hakim MK beda pendapat atas putusan ini.
Semula partai Buruh dkk selaku pemohon I ingin partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang sudah ditetapkan oleh KPU juga dapat mengajukan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Dalam perkara ini, Mahardhikka Prakasha Shatya dan Wiratno Hadi duduk sebagai pemohon II dan III.
Dalam putusan tersebut, Wakil Ketua MK Saldi Isra memiliki pendapat berbeda. Saldi kembali menegaskan pendapat hukumnya terkait pengujian aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebagaimana putusan-putusan sebelumnya. Saldi menyatakan, MK seharusnya mampu melindungi hak konstitusional partai politik peserta pemilihan umum untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Saldi juga mempertimbangkan beberapa hal terkait pokok permohonan Pemohon. Pertama, para Pemohon memiliki cara pandang yang tidak konsisten dengan norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang sama sekali tidak menghendaki adanya ambang batas dalam mengajukan pasangan calon Presiden-Wakil Presiden.
Kedua, para Pemohon dapat membenarkan ambang batas perolehan suara palling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional, sepanjang tetap memberikan kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik yang telah ditetapkan KPU sebagai peserta pemilihan umum.
Ketiga, para Pemohon tetap membenarkan atau menerima persentase tersebut berasal dari hasil pemilihan umum sebelumnya.
Saldi juga berpandangan para Pemohon sepertinya berupaya “mencari celah” agar dapat mengajukan pasangan calon presiden-wakil presiden dalam Pemilihan Umum 2024.
"Sebagai suatu permohonan yang substansinya telah berpuluh kali ditolak oleh mahkamah, upaya mencari celah yang demikian dapat dimengerti," kata Saldi dalam sidang pengucapan putusan pada Kamis (14/9/2023).
Namun, sebagian pemaknaan yang dimohonkan menurut Saldi dapat saling bertentangan dengan substansi Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, maka permohonan para pemohon hanya dapat dikabulkan atau beralasan menurut hukum untuk sebagian, sepanjang dimaknai “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
"Untuk itu, seharusnya mahkamah mengabulkan untuk sebagian permohonan para Pemohon," ucap Saldi.
Sedangkan, Hakim MK Suhartoyo turut memiliki alasan berbeda (concurring opinion). Suhartoyo menyatakan syarat mengikuti Pemilu sebelumnya bukan berkaitan dengan penentuan jumlah minimum (ambang batas), melainkan berkaitan dengan syarat partai peserta pemilu sebelumnya agar dapat memenuhi prinsip eksistensi, aksesibilitas, dan pengakuan serta prinsip akseptabel untuk dapat diterima dalam masyarakat.
"Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum dan oleh karena itu isu konstitusionalitas pada pokok permohonan yang dipersoalkan oleh Pemohon I tidak relevan untuk dipertimbangkan. Terhadap Pemohon II dan Pemohon III karena mendalilkan sebagai pihak yang telah berpartisipasi untuk demokrasi dan terdaftar sebagai pemilih dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, maka dapat bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo," ucap Suhartoyo.
Diketahui, dalam permohonannya, Partai Buruh dkk ingin Pasal 222 UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD RI 1945 sepanjang tidak dimaknai "Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang sudah ditetapkan oleh KPU dan/atau partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki perolehan suara paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya".
Artinya, partai politik yang telah ditetapkan oleh KPU dapat mengajukan daftar capres dan cawapres. Permohonan ini terdaftar pada nomor perkara 80/PUU-XXI/2023. Perkara ini baru melalui dua tahapan sidang, yakni pemeriksaan pendahuluan dan perbaikan permohonan.