REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasar global furnitur yang ramah lingkungan diprediksi akan tumbuh dari 46,88 miliar dolar AS (Rp 720 triliun) pada 2022 menjadi 83,76 miliar dolar (Rp 1.287 triliun) pada 2030.
Menurut laporan dari Grand View Research pada 2022, yang dikutip pada Jumat, pertumbuhan pasar itu disebabkan oleh tingkat pertumbuhan per tahun (CAGR) yang berkembang sebesar 8,6 persen dari 2022 hingga 2030.
Data Dewan Bangunan Hijau Amerika Serikat (USGBC) menunjukkan jumlah rumah bersertifikat Leadership in Energy and Environmental Design (LEED) di AS mengalami pertumbuhan lebih dari 38 persen dari 167.891 unit pada 2018 menjadi 232.244 unit pada akhir 2021.
Selama periode yang sama, Kanada mengalami pertumbuhan rumah bersertifikat LEED lebih dari 155 persen , meningkat dari 3.036 menjadi 7.750 unit.
Hasil survei Sustainable Furnishing Council 2021, menunjukkan hampir 97 persen responden berminat untuk membeli furnitur yang aman bagi lingkungan, dengan asumsi gaya dan biaya yang menguntungkan hampir sama.
Pemanfaatan furnitur ramah lingkungan pada bangunan dapat memberikan manfaat dengan menekan emisi karbon untuk mengurangi dampak negatif terhadap perubahan iklim.
Ketua Himpunan Desainer Mebel Indonesia (HDMI) Ira Samri mengatakan desainer furnitur mempunyai peran dalam membuat produk yang berkelanjutan dan dapat diterima dengan baik oleh pasar, karena desain yang baik akan meningkatkan nilai produk.
“Untuk itu desainer harus memahami sifat setiap komponen yang membentuk produk furnitur, salah satu komponen ini adalah kayu yang bersumber dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan,” ujar Ira dalam keterangan tertulis.
Tingkat ramah lingkungan furnitur dapat dinilai dari desain, sumber dan bentuk materi, proses pembuatan, penanganan ketika produk sudah tidak digunakan hingga asal sumber materi furnitur.
Kayu merupakan salah satu materi bahan bangunan ramah lingkungan, karena memiliki emisi karbon yang rendah, pengolahannya hemat energi, serta dapat menyimpan karbon dalam waktu yang lama.
Dengan teknologi dan desain yang tepat, kayu dapat menjadi materi furnitur yang tidak saja ramah lingkungan namun kuat, tahan lama, dan ekonomis.
Selama tidak musnah, kayu tetap dapat menyimpan karbon yang diserap selama daur hidupnya meskipun sudah diolah.
Karena kemampuan tersebut, kayu membantu mengurangi gas buang ke atmosfer yang menambah pemanasan global. Oleh karena itu, daya serap karbon akan semakin tinggi seiring makin banyaknya produk rumah tangga yang menggunakan kayu.
Techical Director dari organisasi nirlaba FSC Indonesia, Hartono Prabowo menilai bahwa pemanfaatan furnitur berbahan ramah lingkungan dapat dicapai melalui kolaborasi para pihak baik desainer dan pelaku usaha furnitur.
“Kami berharap dengan adanya kolaborasi antara desainer dengan pelaku usaha furnitur dapat membantu meningkatkan permintaan material kayu bersertifikasi sehingga membantu membantu upaya pengelolaan yang berkelanjutan bagi para pengelola hutan di dunia dan di Indonesia,” kata Hartono.