REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, banyak faktor yang membuat melesunya transaksi penjualan di pasar tradisional, seperti yang terjadi di Pasar Tanah Abang. Huda menyampaikan live shopping di social commerce bukan menjadi satu-satunya alasan.
"Kita juga melihat adanya perlambatan ekspektasi konsumsi masyarakat walau pun ada juga ada perpindahan konsumsi barang dari offline ke online," ujar Huda saat diskusi bertajuk "Nasib UMKM di Tengah Gemerlap Social Commerce" di Jakarta, Sabtu (16/9/2023).
Selain itu, ucap Huda, banyak produsen lokal yang juga menjual langsung produknya di social commerce atau e-commerce. Hal ini kian memukul para pedagang di Pasar Tanah Abang.
"Kenapa Tanah Abang sepi karena ada fenomena produsen juga melakukan live shopping. Tanah abang kan tangan kedua dari produsen, nah ada produsen banyak juga jual langsung ke konsumen baik, live shopping atau e-commerce," ucap Huda.
Huda menyebut, fenomena ini menguntungkan konsumen, namun akan berdampak negatif bagi pedagang luring. Huda mengatakan para pedagang Pasar Tanah Abang harus segera beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen dengan ikut berjualan di pasar daring.
Menurut Huda, pemerintah harus memberikan pelatihan dan pendampingan agar para pedagang bisa berjualan di pasar daring. Selain itu, pemerintah juga berkewajiban menerapkan persiangan yang setara antara produk lokal dan impor.
Huda menyampaikan ketidakseimangan harga akan sangat berbahaya bagi para pelaku usaha domestik. Pasalnya, masyarakat Indonesia tentu akan memilih barang yang lebih murah, meski berasal dari luar negeri.
"Pemerintah sudah ada kebijakan tapi tidak cukup membendung masuknya barang impor dari China. Kalau tidak ada aturan ketat, ini sangat membahayakan produk dalam negeri," kata Huda.