REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- ESG merupakan singkatan dari Environmental (lingkungan), Social (sosial), dan Governance (tata kelola). ESG merupakan kerangka kerja bisnis dan perusahaan dalam menjalankan prosedur investasi yang terdiri atas tiga kriteria tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, ESG telah mendapat perhatian dari banyak pihak seperti investor, perusahaan dan pemerintah global. Lantas bagaimana sejarahnya?
Dilansir Carbon View, Rabu (20/9/2023), asal mula ESG dimulai pada awal tahun 1960-an dengan diterbitkannya buku 'The Silent Spring' yang mendokumentasikan dampak buruk terhadap lingkungan yang disebabkan oleh penggunaan pestisida secara sembarangan. Ini adalah awal dari gerakan lingkungan yang berusaha untuk membuat perusahaan bertanggung jawab atas dampak merugikan dari kegiatan mereka terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Pada tahun 1987, Brundtland Commission dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, alias Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WCED), dibentuk untuk membantu mengarahkan bangsa-bangsa di dunia menuju tujuan pembangunan berkelanjutan. Komisi ini mempromosikan pemisahan antara degradasi lingkungan dan kemakmuran ekonomi.
Pada tahun 1992, program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) mengeluarkan Pernyataan Komitmen Lembaga Keuangan untuk Pembangunan Berkelanjutan yang menjadi tulang punggung awal Inisiatif Keuangan UNEP (UNEP/fi) yang dibentuk setelah KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tahun 1992.
Dengan menandatangani pernyataan tersebut, lembaga-lembaga keuangan secara terbuka mengakui peran sektor jasa keuangan dalam membuat ekonomi dan gaya hidup kita berkelanjutan dan berkomitmen untuk mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup dan sosial ke dalam semua aspek operasi mereka.
Pada tahun 1994, John Elkington memperkenalkan konsep Triple Bottom Line (TBL) sebagai kerangka kerja keberlanjutan yang menyeimbangkan dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi perusahaan. Tujuan utamanya adalah untuk membantu mengubah sistem bisnis yang berfokus pada akuntansi keuangan saat ini menjadi pendekatan yang lebih komprehensif dalam mengukur dampak dan keberhasilan.
Istilah ESG diciptakan dalam sebuah laporan penting pada tahun 2004 yang berjudul 'Who Cares Wins'. Laporan ini merupakan hasil inisiatif bersama dari lembaga-lembaga keuangan yang diundang oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kofi Annan, untuk menyusun pedoman dan rekomendasi tentang bagaimana mengintegrasikan isu-isu lingkungan, sosial dan tata kelola perusahaan dengan lebih baik dalam manajemen aset, sekuritas, dan fungsi-fungsi penelitian yang terkait.
Laporan 'Who Cares Wins' merekomendasikan agar para analis lebih baik memasukkan faktor-faktor lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) dalam penelitian mereka jika diperlukan dan untuk mengembangkan lebih lanjut pengetahuan, model, dan perangkat investasi yang diperlukan dengan cara yang kreatif dan bijaksana.
Pada waktu yang hampir bersamaan, UNEP/fi menerbitkan Laporan Inisiatif Keuangan Pendanaan Inovatif untuk Keberlanjutan yang menunjukkan bahwa isu-isu ESG relevan untuk penilaian keuangan. Laporan ini dan laporan 'Who Cares Wins' menjadi dasar peluncuran Prinsip-prinsip Investasi Bertanggung Jawab (Principles for Responsible Investment/PRI) di Bursa Efek New York pada tahun 2006 dan peluncuran Inisiatif Bursa Saham Berkelanjutan (Sustainable Stock Exchange Initiative/SSEI) pada tahun berikutnya.
Tujuan PRI adalah untuk memahami implikasi investasi dari faktor-faktor ESG dan untuk mendukung jaringan internasional penandatangan investor dalam memasukkan faktor-faktor ini ke dalam keputusan investasi dan kepemilikan mereka.
SSEI adalah platform pembelajaran peer-to-peer untuk mengeksplorasi bagaimana bursa, bekerja sama dengan investor, regulator, dan perusahaan, dapat meningkatkan transparansi perusahaan, dan pada akhirnya kinerja, pada isu-isu ESG dan mendorong investasi yang berkelanjutan.
ESG telah berkembang pesat sejak tahun 2006 hingga saat ini. Menurut laporan PwC pada 2022, dna kelolaan investasi berorientasi ESG di Asia Pasifik bahkan diproyeksi akan bertumbuh mencapai RP 3,3 triliun dolar pada 2026.