REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah, KH Abdul Ghaffar Rozin atau yang akrab dipanggil Gus Rozin mengumumkan dalam Musyarawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU untuk menolak menerapkan kebijakan 5 hari sekolah dalam sepekan.
Karena, kebijakan tersebut dinilai akan mematikan sekolah-sekolah diniyah dan TPQ yang menanamkan pendidikan keagamaan di lingkungan NU.
Meski hari belajar di sekolah dalam sepekan berkurang, tapi kebijakan ini membawa konsekuensi jam pulang siswa mundur satu jam menjadi pukul 15.00 WIB. Sementara, sekolah diniyah di lembaga pendidikan NU biasanya akan dimulai lebih awal dari waktu tersebut.
Dalam merespons kebijakan tersebut, menurut Gus Rozin, peserta Munas membahas dari aspek manfaat dan mudaratnya, mengingat di NU memiliki dua landasan yakni landasan sosiologis dan yuridis.
Pertama, berdasarkan landasan sosiologisnya, NU selama ini telah memiliki sekian banyak Madrasah Diniyah yang menanamkan pendidikan karakter dan mengajarkan dasar-dasar keagamaan yang moderat. Sedangkan jika kebijakan 5 hari sekolah tersebut diterapkan, kata dia, maka proses pendidikan di Madrasah Diniyah tersebut tidak akan maksimal atau terancam.
“Oleh karena itu rekomendasi kami kepada Munas adalah tidak melaksanakan full day school yang diterjemahkan dari 5 hari kerja ini,” ujar Gus Rozin dalam acara Munas NU di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Selasa (19/9/2023).
Di samping itu, menurut Gus Rozin, peserta Munas menolak kebijakan tersebut dengan landasan yuridis, di mana pada 2017 lalu PBNUjuga pernah melakukan penolakan terhadap Permendikbud tentang hari sekolah yang kemudian direvisi melalui Perpres Nomor 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
“Intinya kita menolak ya. Ada penafsiran terhadap lima hari sekolah yang berasal dari Perspres lima hari kerja. Itu ditafsirkannya dari situ, karena dulu tahun 2017 itu sudah ada Permendikbud yang mengatur lima hari sekolah dan ditolak dan kemudian dianulir melalui perpres tahun 2017 itu, peraturan presiden,” ucap Gus Rozin kepada Republika.
Dia pun menegaskan bahwa NU tidak dalam posisi mendukung terhadap kebijakan 5 hari sekolah tersebut. “Jadi saya kira kita tidak ada dalam posisi mendukung, apalagi kita tahu bahwa pendidikan keagamaan yang riil mendidik agama itu kan madrasah-madrasah diniyah yang sore hari itu dan TPQ yang juga sore hari,” kata Gus rozin.
“Ya kalau lima hari sekolah itu diterapkan mati itu diniyah. Orang datang sekolah, siswa tidak akan berangkat lagi ke masjid,” jelas dia.