REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mengeluarkan aturan pelaksana mengenai zat adiktif yang memuat soal produk tembakau dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Undang-Undang (UU) Kesehatan. Hal ini dikarenakan aturan-aturan tersebut dinilai sebagai upaya baru untuk melarang total kegiatan penjualan dan promosi produk tembakau.
Ketua Gaprindo, Benny Wachjudi, mengatakan pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, seharusnya melihat secara komprehensif pemangku kepentingan yang terdampak dari aturan tersebut agar menghasilkan aturan yang adil dan berimbang.
"Kami berharap Kemenkes meninjau ulang rencana aturan tersebut yang akan melarang total penjualan dan promosi produk tembakau. Aturan produk tembakau seharusnya dikeluarkan dari RPP UU Kesehatan agar bisa dibicarkan dulu secara komprehensif. Kami juga memohon kepada Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan seluruh aspirasi dari industri pertembakauan Indonesia demi menjaga keberlangsungan mata pencaharian jutaan masyarakat Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada industri ini," kata Benny dalam siaran pers, Sabtu (23/9/2023).
Ia menambahkan industri pertembakauan Indonesia adalah industri legal yang menyerap banyak tenaga kerja, yakni sekitar 6 juta masyarakat Indonesia mulai dari pabrikan, pekerja, petani tembakau dan cengkeh, pedagang. Di luar angka tersebut, industri ini juga berdampak pada pelaku industri kreatif. Oleh karena itu, Gaprindo meminta pertimbangan Presiden Jokowi dan Kemenkes untuk meninjau ulang rencana penyusunan aturan pelaksana tersebut.
Senada dengan Gaprindo, Ketua Umum Gappri, Henry Najoan, menilai aturan pelaksana tentang produk tembakau sebagaimana dalam draf RPP yang digagas oleh Kemenkes ialah berupa larangan yang sangat restriktif. "Hal itu dilihat dari banyaknya pasal pelarangan, bukan pengendalian," katanya.
Merujuk kajian Gappri, peraturan yang dibuat pemerintah saat ini sudah cukup memberatkan. Akibatnya, pabrik rokok jumlahnya turun dari 4.669 unit usaha di tahun 2007 menjadi 1.100 di tahun 2022. "Produksi juga terus menurun dimana di tahun 2013 sebesar 346 miliar batang menjadi 324 miliar batang pada tahun 2022," katanya.
"Karena itu, Perkumpulan Gappri berharap pengaturan terhadap industri hasil tembakau sebagaimana dalam dokumen draf RPP harus mencerminkan di antaranya asas kemanusiaan, kebangsaan, kenusantaraan, keadilan yang memberikan kepastian usaha bagi industri hasil tembakau kretek nasional," kata Henry.
"Tembakau, alkohol dan juga narkotika dan psikotropika dalam RUU hanya dikelompokkan ke dalam pasal zat adiktif atau unsur yang memiliki ketergantungan jika dikonsumsi,” kata Syahril dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, pengelompokan itu tidak berarti memperlakukan hal yang sama bagi tembakau maupun alkohol dengan narkotika dan psikotropika. Apalagi, kedua unsur tersebut memiliki pelarangan ketat dan hukuman pidananya.
"Narkotika dan psikotropika diatur dalam Undang-Undang khusus. Tembakau dan alkohol tidak akan dimasukan ke dalam penggolongan narkotika dan psikotropika karena berbeda undang-undangnya,” tutur dia.
Tak hanya itu..