Selasa 03 Oct 2023 20:00 WIB

Putin Kemungkinan akan Kembali Nyapres di Pemilu 2024

Saat ini Putin menjadi penguasa Rusia yang paling lama berkuasa.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Presiden Rusia Vladimir Putin.
Foto: Mikhail Metzel, Sputnik, Kremlin Pool Photo v
Presiden Rusia Vladimir Putin.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Rusia Vladimir Putin akan segera mengindikasikan bahwa ia akan ikut serta dalam pemilihan presiden 2024, sebagaimana ditulis surat kabar Kommersant melaporkan pada hari Selasa (3/10/2023). Bila hal itu terjadi, maka membuka jalan bagi pemimpin Kremlin tersebut untuk tetap berkuasa hingga 2030.

Sebagai bagian dari sebuah konferensi di bulan November, para pejabat menduga bahwa Putin akan mengumumkan bahwa ia akan ikut serta dalam pemilihan presiden pada bulan Maret tahun depan, media Kommersant melaporkan. Media ini mengutip sumber-sumber yang tidak disebutkan namanya yang dekat dengan administrasi kepresidenan.

Baca Juga

Surat kabar tersebut, salah satu surat kabar yang paling dihormati di Rusia, mengatakan bahwa ada skenario lain untuk apa yang mungkin akan dilakukan Putin pada konferensi tersebut dan keputusan akhir ada di tangan Putin. Ketika dikonfirmasi, Kremlin tidak segera memberikan komentar.

Putin, yang diserahkan kursi kepresidenan oleh Boris Yeltsin pada hari terakhir kepemimpinannya di tahun 1999, telah menjadi pemimpin yang lebih lama daripada penguasa Rusia lainnya sejak Josef Stalin. Bahkan Putin telah mengalahkan masa jabatan Leonid Brezhnev selama 18 tahun.

Sebagai calon presiden, maka Putin akan berusia 71 tahun pada 7 Oktober ini. Meski banyak diplomat, mata-mata, dan pejabat mengatakan bahwa mereka memperkirakan Putin akan tetap berkuasa seumur hidup, belum ada konfirmasi mengenai rencananya untuk maju dalam pemilihan presiden 2024.

Putin mengatakan bulan lalu bahwa ia akan membuat pengumuman tentang rencananya hanya setelah parlemen mengadakan pemilihan presiden - yang menurut undang-undang harus dilakukan pada bulan Desember. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan bulan lalu bahwa jika Putin memutuskan untuk mencalonkan diri, maka tidak akan ada yang bisa menyainginya.

Meskipun Putin mungkin tidak menghadapi persaingan untuk mendapatkan suara, mantan mata-mata KGB ini menghadapi tantangan paling serius yang pernah dihadapi oleh pemimpin Kremlin sejak Mikhail Gorbachev bergulat dengan Uni Soviet yang runtuh hampir empat dekade lalu.

Perang di Ukraina telah memicu konfrontasi terbesar dengan Barat sejak Krisis Rudal Kuba 1962 dan guncangan eksternal terbesar terhadap ekonomi Rusia dalam beberapa dekade. Putin menghadapi pemberontakan yang gagal oleh tentara bayaran paling kuat di Rusia, Yevgeny Prigozhin, pada bulan Juni.

Prigozhin tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat dua bulan kemudian. Barat menganggap Putin sebagai penjahat perang dan diktator yang telah membawa Rusia ke dalam konflik gaya kekaisaran yang telah melemahkan negara dan menempa kenegaraan Ukraina sambil menyatukan Barat dan memberikan NATO misi pasca-Soviet untuk melawan Rusia.

Namun, Putin menampilkan perang ini sebagai bagian dari perjuangan yang jauh lebih besar dengan Amerika Serikat, yang menurut elit Kremlin bertujuan untuk memecah belah Rusia, merebut sumber daya alamnya, dan kemudian beralih ke penyelesaian masalah dengan Cina.

Mantan mata-mata Soviet yang memegang kekuasaan di Moskow telah berulang kali memperingatkan risiko konflik Rusia-NATO seiring dengan berkurangnya dominasi Barat pasca-Perang Dingin, Rusia mulai melupakan penghinaan akibat keruntuhan Soviet, dan Tiongkok bangkit menjadi negara adidaya.

Barat mengatakan bahwa mereka tidak menginginkan konflik NATO-Rusia, melainkan hanya untuk membantu Ukraina mengalahkan pasukan Rusia. Kremlin mengatakan bahwa Barat tidak akan pernah mencapai kekalahan Rusia di Ukraina.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement