Senin 09 Oct 2023 23:28 WIB

Tuberkulosis Jadi Salah Satu Penyebab Stunting

Pemicu TB yang menyebabkan anak terkena stunting adalah rumah tidak layak huni.

Red: Ani Nursalikah
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin kepada bayi di Posyandu Nuri, Kampung Ifar Besar, Kabupaten Jayapura, Selasa (12/9/2023). Kegiatan tersebut dalam rangka pencegahan stunting dengan cara pemberian vitamin A dan imunisasi kepada anak serta demo masak kepada ibu-ibu guna nambah pemberian makanan pada anak.
Foto: ANTARA FOTO/Gusti Tanati
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin kepada bayi di Posyandu Nuri, Kampung Ifar Besar, Kabupaten Jayapura, Selasa (12/9/2023). Kegiatan tersebut dalam rangka pencegahan stunting dengan cara pemberian vitamin A dan imunisasi kepada anak serta demo masak kepada ibu-ibu guna nambah pemberian makanan pada anak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyebut penyakit Tuberkulosis (TB) dapat menjadi salah satu penyebab anak terkena stunting.

“TB juga penyakit-penyakit yang menular masih mewarnai (kehidupan anak-anak kita), hingga membuat tergerusnya status nutrisi dan penyebab stunting,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin (9/10/2023).

Baca Juga

Ketika menghadiri Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Kesehatan Anak yang diselenggarakan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) di Padang hari ini, Hasto menyoroti pemicu TB yang menyebabkan anak-anak terkena stunting adalah rumah yang tidak layak huni.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh BKKBN, jumlah anak usia dini di Indonesia yang tinggal di rumah tidak layak huni ada sebanyak 57,91 persen. Di mana ciri rumahnya yakni atap terbuat dari asbes, jendela rumah tidak lebih dari 10 persen luas bangunan rumah dan lantai yang tidak dikeramik.

Diketahui atap yang terbuat dari asbes lebih rentan rontok dari seng, sehingga serpihan kecil bisa terhirup masuk ke saluran napas anggota keluarga. Penyebab lain anak terkena stunting adalah tidak optimalnya pemberian ASI eksklusif dan makanan tambahan yang mengandung protein hewani, terutama pada masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Hasto menyoroti pada masa kini, seharusnya orang tua dapat mempelajari varian makanan bagi anak-anak

"Hari ini variasi makanan anak-anak Indonesia di kota masih lebih bagus daripada di daerah. Hari ini juga ASI eksklusif masih berat untuk mencapai 70 persen, oleh karena itu kita meminta dukungan dari rekan-rekan semua supaya ASI eksklusif bisa mencapai 70 persen," ujar dia.

Hasto menyatakan saat ini pemerintah sedang berupaya menangani permasalahan stunting dengan memberikan intervensi baik secara spesifik maupun sensitif. Dengan demikian, angka prevalensi stunting yang berdasarkan data SSGI 2022 angkanya masih 21,6 persen.

Ia berharap setiap pihak tetap menjaga sinergi dan kolaborasi, sehingga angkanya bisa turun secara signifikan sekitar 3,8 persen pada tahun ini.

"Mudah mudahan hasil SSGI tahun 2023 akhir ini mencapai 18 persen atau 17,8 persen. Untuk balita 21,6 persen, tetapi untuk baduta yaitu 17,9 persen sehingga ada harapan. Semua yang masih di atas 10 persen masih punya tugas untuk kita supaya bisa menurunkan stunting dengan sebaik-baiknya,” kata Hasto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement