Selasa 10 Oct 2023 10:51 WIB

Isi Perjanjian Umar bin Khattab Saat Membebaskan Palestina

Palestina dibebaskan Umar bin Khattab.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Kompleks Masjid Al Aqsa di Yerusalem / Palestina (ilustrasi)
Foto: EPA/Atef Safadi
Kompleks Masjid Al Aqsa di Yerusalem / Palestina (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Khalifah Umar bin Khattab merupakan khalifah kedua Islam yang berhasil menaklukkan Yerusalem pada 637 M. Setelah itu, Umar pun membuat perjanjian dengan penguasa sebelumnya yang juga pemimpin gereja Kristen, Patriark Sophronius.

Seperti yang dilakukan terhadap kota-kota lain yang mereka taklukkan, kaum Muslimin harus membuat sebuah perjanjian yang merinci hak-hak dan keistimewaan mengenai orang-orang yang ditaklukkan dan kaum Muslimin di Yerusalem.

Baca Juga

Perjanjian ini ditandatangani oleh Umar dan Patriark Sophronius, bersama beberapa jenderal tentara Muslim. Seperti dikutip dari Islamicity, berikut bunyi teks perjanjian itu:

“Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Inilah jaminan keselamatan yang diberikan hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, kepada penduduk Yerusalem.

Dia telah memberi mereka jaminan keamanan bagi diri mereka sendiri atas harta benda mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib mereka, orang-orang yang sakit dan sehat di kota itu dan untuk semua ritual yang merupakan bagian dari agama mereka.

Gereja-gereja mereka tidak akan dihuni oleh umat Islam dan tidak akan dihancurkan. Baik mereka, tanah tempat mereka berdiri, salib mereka, maupun harta benda mereka tidak akan dirusak. Mereka tidak akan dipaksa pindah agama. Tidak ada orang Yahudi yang akan tinggal bersama mereka di Yerusalem.

Penduduk Yerusalem harus membayar pajak seperti penduduk kota-kota lain dan harus mengusir Bizantium dan para perampok.

Penduduk Yerusalem yang ingin pergi bersama Bizantium, mengambil harta benda mereka dan meninggalkan gereja dan salib mereka akan aman sampai mereka mencapai tempat perlindungan mereka.

Penduduk desa boleh tetap tinggal di kota jika mereka menginginkannya tetapi harus membayar pajak seperti warga negara. Mereka yang berkeinginan boleh pergi bersama Bizantium dan mereka yang berkeinginan boleh kembali ke keluarganya. Tidak ada yang boleh diambil dari mereka sebelum panennya dituai.

Jika mereka membayar pajaknya sesuai dengan kewajibannya, maka syarat-syarat yang tercantum dalam surat ini berada di bawah perjanjian Allah, menjadi tanggung jawab Nabi-Nya, para khalifah, dan orang-orang beriman.”

Isi surat perjanjian Umar tersebut dikutip dalam The Great Arab Conquests, dari Tarikh at-Tabari.

Pada saat itu, perjanjian ini merupakan salah satu perjanjian paling progresif dalam sejarah. Sebagai perbandingan, hanya 23 tahun sebelumnya ketika Yerusalem ditaklukkan oleh Persia dari Bizantium, sebuah pembantaian besar-besaran diperintahkan. Pembantaian lain terjadi ketika Yerusalem ditaklukkan oleh Tentara Salib dari kaum Muslim pada 1099.

Perjanjian Umar memberikan kebebasan beragama bagi umat Kristen di Yerusalem, seperti yang ditentukan dalam Alquran dan perkataan Muhammad SAW. Ini adalah salah satu jaminan kebebasan beragama yang pertama dan paling signifikan dalam sejarah.

Meskipun ada klausul dalam perjanjian mengenai pelarangan orang Yahudi memasuki Yerusalem, keasliannya masih diperdebatkan.

Salah satu pemandu Umar di Yerusalem adalah seorang Yahudi bernama Kaab al-Ahbar. Umar selanjutnya mengizinkan orang Yahudi untuk beribadah di Bukit Bait Suci dan Tembok Ratapan, sementara Bizantium melarang mereka melakukan aktivitas tersebut. Dengan demikian, keaslian klausul mengenai Yahudi dipertanyakan.

Namun, yang tidak perlu dipertanyakan lagi adalah pentingnya perjanjian penyerahan diri yang progresif dan adil, yang melindungi hak-hak minoritas. Perjanjian tersebut menjadi standar bagi hubungan Muslim-Kristen di seluruh wilayah bekas Kekaisaran Bizantium, dengan hak-hak penduduk yang ditaklukkan dilindungi dalam segala situasi, dan pemaksaan pindah agama tidak pernah menjadi tindakan yang direstui.

Revitalisasi Kota

Umar segera mulai menjadikan kota Yerusalem ini sebagai landmark penting umat Islam. Dia membersihkan area Temple Mount atau al Haram al Sharif, tempat Muhammad SAW naik ke surga.

Umat Kristen telah menggunakan daerah tersebut sebagai tempat pembuangan sampah untuk menyinggung perasaan orang Yahudi. Lalu, Umar dan pasukannya (bersama beberapa orang Yahudi) secara pribadi membersihkannya dan kemudian membangun sebuah masjid yang kini dikenal dengan Masjid al-Aqsa.

Sepanjang sisa masa kekhalifahan Umar dan hingga masa pemerintahan Kekaisaran Bani Umayyah atas kota tersebut, Yerusalem menjadi pusat utama ziarah keagamaan dan perdagangan.

Kubah Batu atau The Dome of The Rock dibangun untuk melengkapi Masjid al-Aqsa pada 691. Banyak masjid dan lembaga publik lainnya segera didirikan di seluruh kota.

Penaklukan Muslim atas Yerusalem di bawah khalifah Umar pada 637 jelas merupakan momen penting dalam sejarah kota tersebut.

Selama 462 tahun berikutnya, wilayah ini akan diperintah oleh umat Islam, dan kebebasan beragama bagi kelompok minoritas dilindungi berdasarkan Perjanjian Umar.

Bahkan saat ini, ketika pertikaian mengenai status kota tersebut di masa depan masih terus berlanjut, banyak warga Muslim, Kristen, dan Yahudi yang bersikeras bahwa Perjanjian tersebut tetap memiliki kedudukan hukum dan berharap perjanjian tersebut dapat membantu menyelesaikan permasalahan Yerusalem saat ini.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement