REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Dalam Alquran, para ibu setelah melahirkan dianjurkan untuk memberikan air susu ibu (ASI) kepada anaknya. Yang mana hal itu bukanlah perkara sederhana, karena kesehatan dan gizi sang ibu perlu terjaga dengan baik.
Dalil memberikan ASI dalam Alquran termaktub di dalam Surat Al Baqarah ayat 233, “Wal-walidatu yurdina auladahunna haulaini kamilaini liman arada ay yutimmar-radaah(ta), wa alal-mauludi lahu rizquhunna wa kiswatuhunna bil-maruf(i), la tukallafu nafsun illa wusaha, la tudarra walidatum biwaladiha wa la mauludul lahu biwaladihi wa alal-warisi mislu zalik(a), fa'in arada fisalan an taradim minhuma wa tasyawurin fala junaha alaihima, wa in arattum an tastardiu auladakum fala junaha alaikum iza sallamtum ma ataitum bil-maruf(i), wattaqullaha walamu annallaha bima tamaluna basir.”
Yang artinya, “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (men-derita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apa-bila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Maka apabila seorang ibu pada masa ASI meminta nafkah dari mantan suaminya, apakah ia masih mendapatkan hak nafkah tersebut? Prof Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al Mishbah menjelaskan, sejak kelahiran hingga dua tahun penuh, para ibu diperintahkan untuk menyusukan anak-anaknya.
Dua tahun adalah batas maksimal dari kesempurnaan penyusuan. Di sisi lain, bilangan itu juga mengisyaratkan bahwa yang menyusu setelah usia tersebut bukanlah penyusuan yang mempunyai dampak hukum yang mengakibatkan anak yang disusui berstatus sama dalam sejumlah hal dengan anak kandung yang menyusunya.
Penyusuan yang selama dua tahun itu, walaupun diperintahkan, tetapi bukanlah kewajiban. Hal ini dipahami dari penggalan ayat yang menyatakan, ‘Bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan’. Namun demikian, ia adalah anjuran yang sangat ditekankan, seakan-akan ia adalah perintah wajib.
Jika hendaknya suami istri sepakat untuk mengurangi masa tersebut, maka tidak mengapa. Tetapi hendaknya jangan berlebihan dari dua tahun, sebab dua tahun dinilai sempurna oleh Allah. Di sisi lain, penetapan waktu dua tahun itu adalah untuk menjadi tolok ukur bila terjadi perbedaan pendapat, misalnya ibu atau bapak ingin memperpanjang masa penyusuan.
Prof Quraish menekankan bahwa masa penyusuan tidak harus selalu 24 bulan. Karena dalam Surat Al Ahqaf ayat 15 menyatakan, bahwa masa kehamilan dan penyusuan adalah tiga bulan penuh. Ini berarti, jika janin yang dikandung selama sembilan bukan maka penyusuannya selama 21 bulan. Sedangkan jika dikandung hanya enam bulan, maka ketika itu masa penyusuannya adalah 24 bulan.
Tentu saja, ibu yang menyusui memerlukan biaya agar kesehatannya tidak terganggu dan air susunya tersedia. Atas dasar itu lanjutan ayat menyatakan, ‘merupakan kewajiban atas yang dilahirkan untuknya, yakni ayah, memberi makan dan pakaian kepada para ibu’ jika ibu anak-anak yang disusukan telah diceraikannya secara bain, bukan raj’iy.
Adapun jika ibu anak itu masih berstatus istri walau telah ditalak secara raj’iy, maka kewajiban memberi makan dan pakaian adalah kewajiban atas dasar suami istri, sehingga bila mereka menuntut imbalan penyusuan anaknya, maka suami wajib memenuhinya selama tuntutan imbalan itu dinilai wajar.
Mengapa menjadi kewajiban ayah?
Karena anak itu membawa nama ayah. Seakan-akan anak lahir untuknya, karena nama ayah akan disandang oleh sang anak, yakni dinisbahkan kepada ayahnya. Adapun kewajiban memberi makan dan pakaian itu hendaknya dilaksanakan dengan cara yang ma’ruf.